Tolak Khilafah NKRI Harga Mati
Khilafah itu tidaklah wajib, tidak ada satu pun dalil baik dari Al-Qur’an maupun As-Sunnah yang secara tegas menunjukkan kewajibannya. Bahkan istilah Khilafah itu sendiri pun tidak ditemui dalam ayat-ayat Al-Qur’an maupun Al-Hadits.
Kalau pun sistem khilafah kita anut, maka tetaplah ia tidak terlepas dari teori-teori hasil adopsi dari sistem diluar Islam. Dan ini telah dibuktikan sejarah, hampir semua periode khilafah tidak terlepas dari adopsi adopsi dari luar.
Al-Quran tak pernah menerangkan dan menganjurkan sistem kenegaraan yang disebut khilafah. Sistem ini tidak ada dalam Al-Quran. Negara yang disebut dalam Al-Quran ada dua: Negara Thayyibah dan Negara Khabitsah.
Negara Thayyibah adalah negara yang baik dan negara Khobitsah adalah negara yang buruk. Dalam surat Al A’raf ayat 58 disebutkan : “Wal baladut thoyyibu yakhruju nabatahu biidznihi robbihi walladzi khobutsa la yakhruju illa nakida. Kadzalika nushorriful ayati liqoumin yaskurun”. Artinya: “Dan negara yang baik adalah yang muncul banyak buah buahan denga izin tuhannya. Dan negara yang buruk tidak ada yang keluar kecuali kesengsaraan. Demikianlah kami jelaskan tanda tanda bagi hamba yang bersyukur.”
Dan sistem untuk bisa mencapai negara yang Thayyibah, menurut Al-Qur-an, harus dicapai melalui manajemen syukur, sebagaimana dalam surat Saba’ ayat 15 :”Wasykuru lahu baldatun thayyibatun warabbun ghafur”. Dan bersyukurlah kepada Allah, negaramu akan menjadi negara yang baik dan Allah selalu memberikan ampunanan-Nya.
Negara kita Indonesia dilihat dari segi konstitusinya sebetulnya sudah sesuai dengan ayat tersebut diatas, terbukti dengan adanya pembukaan UUD 45 alenia ke 3 disebutkan : “Atas berkat Rahmat Allah yang maha kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya”.
Berdasarkan alenia ini kita tahu bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang bersyukur kepada Allah S.W.T.
Demikian juga kalau dilihat dari sila yang pertama dari Pancasila, Ketuhanan yang Mahaesa. Kita faham bahwa negara kita adalah negara yang berdasarkan tauhid, artinya imam kepada Allah dan hari akhir. Jadi sesuai dengan doa Nabi Ibrahim dalam surat Al-Baqarah ayat 126, yang artinya : “Ketika berdoa Ibrahim, ya Allah jadikan negeri ini negeri yang aman sentosa, dan berilah rizqi berupa buah buahan kepada warganya, yaitu yang beriman kepada Alloh dan hari akhir”.
Demikian juga sila-sila seterusnya didalam Pembukaan UUD 45, kalau kita teliti dan kita kaji semuanya tidak ada yang bertentangan dengan Al-Quran dan Hadits. Semuanya sesuai dengan Islam. “Para pendiri negara kita adalah ulama-ulama’ Islam yang jempolan, hebat. Mereka bukan orang yang bodoh. KH Wahid Hasyim, KH Agus Salim, KH Abdul Kahhar Mudzakir dll, bukanlah ulama’ sembarangan. Sudah mereka pertimbangkan masak masak mana yang terbaik buat bangsa kita,” kata KH Imam Ghozali Said.
Mengenai Sistim Negara Khilafah yang di dengung dengungkan oleh kelompok umat Islam garis keras sebetulnya faham tersebut banyak yang Bertentangan dengan Al-Quran dan Hadits.
Ingat dalam sejarah, ketika Rasulullah wafat, beliau tidak mewasiatkan penggantinya. Maka berkumpullah para sahabat Muhajirin dan Anshar untuk bermusyawarah mencari pengganti Nabi. Dalam musyawarah tersebut, kaum Muhajirin mengajukan jagonya. Demikian juga kaum Anshar juga mengajukan jagonya. Dan akhirnya dalam musyawarah tersebut terpilihlah sahabat Abu Bakar Shiddiq sebagai khalifah pengganti Rosululloh secara demokratis.
Demikian juga dengan terpilihnya Sayyidina Umar bin Khatab, Sayyidina Utsman bin Affan, Sayyidina Ali bin Abi Thalib, mereka diangkat khalifah melalui pilihan yang demokratis.
Apakah Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali yang menyetujui adanya pilihan demokratis ini juga kafir? Naudzu billah min dzalik.
Jangan-jangan mereka itu warisan kaum Khawarij yang mengkafirkan sahabat Utsman, Ali, Abu Musa Al Asy’-ari yang akhirnya membunuh sahabat Ali R.a. Mereka adalah kaum yang mudah mengkafirkan orang yang tidak sefaham.
Apakah kita rela kalau nantinya negara republik Indonesia ini hilang, kemudian diganti dengan imperium tirani yang mereka cita citakan dan mereka kuasai dengan berkedok Islam? Naudzu billah min dzalik.
Kenapa pemerintahan Indonesia dianggap sah?
Terlebih lagi mendirikan khilafah itu terbantahkan oleh dalil-dalil berikut ini.
Source : Penolakan NU terhadap Khilafah sudah tepat karena Al-Quran sendiri tak pernah menganjurkan Berkhilafah, https://www.facebook.com/notes/warga-nahdliyin-dukung-pancasila-tolak-khilafah/penolakan-nu-terhadap-khilafah-sudah-tepat-karena-al-quran-sendiri-tak-pernah-me/10150499064386272/
"Buktikan bahwa sistem politik dan ketatanegaraan Islam itu tidak ada. Islam itu lengkap dan sempurna, semua diatur di dalamnya, termasuk khilafah sebagai sistem pemerintahan”. Pernyataan dengan nada agak marah itu diberondongkan kepada saya oleh seorang aktivis ormas Islam asal Blitar saat saya mengisi halaqah di dalam pertemuan Muhammadiyah se-Jawa Timur ketika saya masih menjadi ketua Mahkamah Konstitusi.
Saat itu, teman saya, Prof Zainuri yang juga dosen di Universitas Muhammadiyah Sidoarjo, mengundang saya untuk menjadi narasumber dalam forum tersebut dan saya diminta berbicara seputar ”Konstitusi bagi Umat Islam Indonesia”.
Pada saat itu saya mengatakan, umat Islam Indonesia harus menerima sistem politik dan ketatanegaraan Indonesia yang berdasar Pancasila dan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Sistem negara Pancasila yang berbasis pluralisme, Bhinneka Tunggal Ika, sudah kompatibel dengan realitas keberagaman dari bangsa Indonesia.
Saya mengatakan pula, di dalam sumber primer ajaran Islam, Al Quran dan Sunah Nabi Muhammad SAW, tidak ada ajaran sistem politik, ketatanegaraan, dan pemerintahan yang baku. Di dalam Islam memang ada ajaran hidup bernegara dan istilah khilafah, tetapi sistem dan strukturisasinya tidak diatur di dalam Al Quran dan Sunah, melainkan diserahkan kepada kaum Muslimin sesuai dengan tuntutan tempat dan zaman.
Sistem negara Pancasila
Khilafah sebagai sistem pemerintahan adalah ciptaan manusia yang isinya bisa bermacam-macam dari waktu ke waktu dan dari tempat ke tempat. Di dalam Islam tidak ada sistem ketatanegaraan dan pemerintahan yang baku.
Umat Islam Indonesia boleh mempunyai sistem pemerintahan sesuai dengan kebutuhan dan realitas masyarakat Indonesia sendiri. Para ulama yang ikut mendirikan dan membangun Indonesia menyatakan, negara Pancasila merupakan pilihan final dan tidak bertentangan dengan syariah sehingga harus diterima sebagai mietsaaqon ghaliedzaa atau kesepakatan luhur bangsa.
Penjelasan saya yang seperti itulah yang memicu pernyataan aktivis ormas Islam dari Blitar itu dengan meminta saya untuk bertanggung jawab dan membuktikan bahwa di dalam sumber primer Islam tidak ada sistem politik dan ketatanegaraan. Atas pernyataannya itu, saya mengajukan pernyataan balik. Saya tak perlu membuktikan apa-apa bahwa sistem pemerintahan Islam seperti khilafah itu tidak ada yang baku karena memang tidak ada.
Justru yang harus membuktikan adalah orang yang mengatakan, ada sistem ketatanegaraan atau sistem politik yang baku dalam Islam. ”Kalau Saudara mengatakan bahwa ada sistem baku di dalam Islam, coba sekarang Saudara buktikan, bagaimana sistemnya dan di mana itu adanya,” kata saya.
Ternyata dia tidak bisa menunjuk bagaimana sistem khilafah yang baku itu. Kepadanya saya tegaskan lagi, tidak ada dalam sumber primer Islam sistem yang baku. Semua terserah pada umatnya sesuai dengan keadaan masyarakat dan perkembangan zaman.
Buktinya, di dunia Islam sendiri sistem pemerintahannya berbeda-beda. Ada yang memakai sistem mamlakah (kerajaan), ada yang memakai sistem emirat (keamiran), ada yang memakai sistem sulthaniyyah (kesultanan), ada yang memakai jumhuriyyah (republik), dan sebagainya.
Bahwa di kalangan kaum Muslimin sendiri implementasi sistem pemerintahan itu berbeda-beda sudahlah menjadi bukti nyata bahwa di dalam Islam tidak ada ajaran baku tentang khilafah. Istilah fikihnya, sudah ada ijma’ sukuti (persetujuan tanpa diumumkan) di kalangan para ulama bahwa sistem pemerintahan itu bisa dibuat sendiri-sendiri asal sesuai dengan maksud syar’i (maqaashid al sya’iy).
Kalaulah yang dimaksud sistem khilafah itu adalah sistem kekhalifahan yang banyak tumbuh setelah Nabi wafat, maka itu pun tidak ada sistemnya yang baku.
Di antara empat khalifah rasyidah atau Khulafa’ al-Rasyidin saja sistemnya juga berbeda-beda. Tampilnya Abu Bakar sebagai khalifah memakai cara pemilihan, Umar ibn Khaththab ditunjuk oleh Abu Bakar, Utsman ibn Affan dipilih oleh formatur beranggotakan enam orang yang dibentuk oleh Umar.
Begitu juga Ali ibn Abi Thalib yang keterpilihannya disusul dengan perpecahan yang melahirkan khilafah Bani Umayyah. Setelah Bani Umayyah lahir pula khilafah Bani Abbasiyah, khilafah Turki Utsmany (Ottoman) dan lain-lain yang juga berbeda-beda.
Yang mana sistem khilafah yang baku? Tidak ada, kan? Yang ada hanyalah produk ijtihad yang berbeda-beda dari waktu ke waktu dan dari tempat ke tempat. Ini berbeda dengan sistem negara Pancasila yang sudah baku sampai pada pelembagaannya. Ia merupakan produk ijtihad yang dibangun berdasar realitas masyarakat Indonesia yang majemuk, sama dengan ketika Nabi membangun Negara Madinah.
Berbahaya
Para pendukung sistem khilafah sering mengatakan, sistem negara Pancasila telah gagal membangun kesejahteraan dan keadilan. Kalau itu masalahnya, maka dari sejarah khilafah yang panjang dan beragam (sehingga tak jelas yang mana yang benar) itu banyak juga yang gagal dan malah kejam dan sewenang-wenang terhadap warganya sendiri.
Semua sistem khilafah, selain pernah melahirkan penguasa yang bagus, sering pula melahirkan pemerintah yang korup dan sewenang-wenang.Kalaulah dikatakan bahwa di dalam sistem khilafah ada substansi ajaran moral dan etika pemerintahan yang tinggi, maka di dalam sistem Pancasila pun ada nilai-nilai moral dan etika yang luhur. Masalahnya, kan, soal implementasi saja. Yang penting sebenarnya adalah bagaimana kita mengimplementasikannya
Maaf, sejak Konferensi Internasional Hizbut Tahrir tanggal 12 Agustus 2007 di Jakarta yang menyatakan ”demokrasi haram” dan Hizbut Tahrir akan memperjuangkan berdirinya negara khilafah transnasional dari Asia Tenggara sampai Australia, saya mengatakan bahwa gerakan itu berbahaya bagi Indonesia. Kalau ide itu, misalnya, diterus-teruskan, yang terancam perpecahan bukan hanya bangsa Indonesia, melainkan juga di internal umat Islam sendiri.
Mengapa? Kalau ide khilafah diterima, di internal umat Islam sendiri akan muncul banyak alternatif yang tidak jelas karena tidak ada sistemnya yang baku berdasar Al Quran dan Sunah. Situasinya bisa saling klaim kebenaran dari ide khilafah yang berbeda-beda itu. Potensi kaos sangat besar di dalamnya.
Oleh karena itu, bersatu dalam keberagaman di dalam negara Pancasila yang sistemnya sudah jelas dituangkan di dalam konstitusi menjadi suatu keniscayaan bagi bangsa Indonesia. Ini yang harus diperkokoh sebagaimietsaaqon ghaliedzaa (kesepakatan luhur) seluruh bangsa Indonesia. Para ulama dan intelektual Muslim Indonesia sudah lama menyimpulkan demikian.
Moh Mahfud MD
Ketua Umum Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara (APHTN-HAN); Ketua Mahkamah Konstitusi RI Periode 2008-2013
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 26 Mei 2017, di halaman 6 dengan judul "Menolak Ide Khilafah".
Source : http://nasional.kompas.com/read/2017/05/26/15370351/menolak.ide.khilafah
“NU memiliki khittah (landasan) sendiri. NU tidak memaksakan syariat Islam dalam sebuah negara, apalagi dengan cara kekerasan. Berbeda dengan kelompok liberal yang menolak syariat agama dalam bentuk apapun,” terang Kiai Muchith, begitu panggilan akrabnya, kepada NU Online di Jember, Jawa Timur, Selasa (21/8).
Namun demikian, tambahnya, NU tidak berarti menerima liberalisme dan imperialisme. Penolakannya pun bukan atas pengaruh kelompok Islam fundamentalis. NU sejak awal memang berjuang menegakkan akhlakul karimah dan keadilan sosial yang banyak dilanggar kaum liberal-kapitalis.
Menurutnya, walaupun NU sebagai ormas Islam yang dengan sendirinya memperjuangkan berlakunya syariat Islam, tetapi NU memiliki perbedaan dengan kelompok lain. “Jadi, kita mandiri dalam berpikir dan bertindak,” ujar Kiai Muchith yang juga kakak kandung Ketua Umum PBNU KH Hasyim Muzadi.
Kiai Muchith menyarankan agar seluruh jajaran PBNU lebih kompak dan tidak bergerak sendiri-sendiri menghadapi ancaman terhadap keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia dan Pancasila. Ancaman itu, katanya, semakin nyata, terutama setelah Hizbut Tahrir Indonesia cukup terang-terangan mengkampanyekan pendirian Khilafah Islamiyah di Indonesia.
Ia juga meminta PBNU agar memberikan tuntunan yang jelas dan gamblang pada warga Nahdliyin di lapisan bawah sekalipun tentang bahaya tersebut berikut upaya menghadapinya. Karena kelompok itulah yang menjadi sasaran fundamentalisme dan liberalisme. “Sementara, mereka tidak tahu asal-usul dan bahayanya,” tandasnya.
“Apalagi kalangan muda yang dinamis, kalau tidak diselematkan akan terjerumus pada fundamentalisme maupun liberalisme yang ‘dijajakan’ ke berbagai sekolah dan pesantren atas nama Hak Asasi Manusia, demokrasi, pluralisme, gender dan lingkungan hidup,” tambah Kiai Muchith.
Langkah Ketua Umum PBNU KH Hasyim Muzadi berbicara langsung dengan para pengurus ranting beberapa waktu lalu, menurutnya, langkah yang sangat strategis. “Tetapi, langkah itu perlu disertai istilah atau idiom yang lebih jelas dan mudah dipahami, agar pengetahuan yang disampaikan bisa menjadi pegangan dan modal dari gerakan para ulama tingkat ranting dalam memperjuangkan agama, bangsa dan negara ini. (Source : http://www.nu.or.id/post/read/9795/kiai-muchith-nu-tolak-khilafah-islamiyah-atas-dasar-yang-jelas )
Silahkan SHARE jika dirasa bermanfaat.
Kalau pun sistem khilafah kita anut, maka tetaplah ia tidak terlepas dari teori-teori hasil adopsi dari sistem diluar Islam. Dan ini telah dibuktikan sejarah, hampir semua periode khilafah tidak terlepas dari adopsi adopsi dari luar.
Al-Quran tak pernah menerangkan dan menganjurkan sistem kenegaraan yang disebut khilafah. Sistem ini tidak ada dalam Al-Quran. Negara yang disebut dalam Al-Quran ada dua: Negara Thayyibah dan Negara Khabitsah.
Negara Thayyibah adalah negara yang baik dan negara Khobitsah adalah negara yang buruk. Dalam surat Al A’raf ayat 58 disebutkan : “Wal baladut thoyyibu yakhruju nabatahu biidznihi robbihi walladzi khobutsa la yakhruju illa nakida. Kadzalika nushorriful ayati liqoumin yaskurun”. Artinya: “Dan negara yang baik adalah yang muncul banyak buah buahan denga izin tuhannya. Dan negara yang buruk tidak ada yang keluar kecuali kesengsaraan. Demikianlah kami jelaskan tanda tanda bagi hamba yang bersyukur.”
Dan sistem untuk bisa mencapai negara yang Thayyibah, menurut Al-Qur-an, harus dicapai melalui manajemen syukur, sebagaimana dalam surat Saba’ ayat 15 :”Wasykuru lahu baldatun thayyibatun warabbun ghafur”. Dan bersyukurlah kepada Allah, negaramu akan menjadi negara yang baik dan Allah selalu memberikan ampunanan-Nya.
Negara kita Indonesia dilihat dari segi konstitusinya sebetulnya sudah sesuai dengan ayat tersebut diatas, terbukti dengan adanya pembukaan UUD 45 alenia ke 3 disebutkan : “Atas berkat Rahmat Allah yang maha kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya”.
Berdasarkan alenia ini kita tahu bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang bersyukur kepada Allah S.W.T.
Demikian juga kalau dilihat dari sila yang pertama dari Pancasila, Ketuhanan yang Mahaesa. Kita faham bahwa negara kita adalah negara yang berdasarkan tauhid, artinya imam kepada Allah dan hari akhir. Jadi sesuai dengan doa Nabi Ibrahim dalam surat Al-Baqarah ayat 126, yang artinya : “Ketika berdoa Ibrahim, ya Allah jadikan negeri ini negeri yang aman sentosa, dan berilah rizqi berupa buah buahan kepada warganya, yaitu yang beriman kepada Alloh dan hari akhir”.
Demikian juga sila-sila seterusnya didalam Pembukaan UUD 45, kalau kita teliti dan kita kaji semuanya tidak ada yang bertentangan dengan Al-Quran dan Hadits. Semuanya sesuai dengan Islam. “Para pendiri negara kita adalah ulama-ulama’ Islam yang jempolan, hebat. Mereka bukan orang yang bodoh. KH Wahid Hasyim, KH Agus Salim, KH Abdul Kahhar Mudzakir dll, bukanlah ulama’ sembarangan. Sudah mereka pertimbangkan masak masak mana yang terbaik buat bangsa kita,” kata KH Imam Ghozali Said.
Mengenai Sistim Negara Khilafah yang di dengung dengungkan oleh kelompok umat Islam garis keras sebetulnya faham tersebut banyak yang Bertentangan dengan Al-Quran dan Hadits.
- Pertama, sistim tersebut tidak pernah ada adalah sistim syukur.
- Kedua, mereka berusaha menghapus negara kebangsaan. Bahwa Al-Quran mengatakan bahwa Allah menciptakan manusia terdiri atas bangsa bangsa dan suku suku untuk saling kenal mengenal, menghargai satu sama lain juga menghargai hak haknya sebagai bangsa.(lihat dalam surat Hujurat ayat 13)
- Yang ketiga, mereka berusaha menghilangkan sistim demokrasi. Kata mereka sistim demokrasi adalah sistim orang kafir.
Ingat dalam sejarah, ketika Rasulullah wafat, beliau tidak mewasiatkan penggantinya. Maka berkumpullah para sahabat Muhajirin dan Anshar untuk bermusyawarah mencari pengganti Nabi. Dalam musyawarah tersebut, kaum Muhajirin mengajukan jagonya. Demikian juga kaum Anshar juga mengajukan jagonya. Dan akhirnya dalam musyawarah tersebut terpilihlah sahabat Abu Bakar Shiddiq sebagai khalifah pengganti Rosululloh secara demokratis.
Demikian juga dengan terpilihnya Sayyidina Umar bin Khatab, Sayyidina Utsman bin Affan, Sayyidina Ali bin Abi Thalib, mereka diangkat khalifah melalui pilihan yang demokratis.
Apakah Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali yang menyetujui adanya pilihan demokratis ini juga kafir? Naudzu billah min dzalik.
Jangan-jangan mereka itu warisan kaum Khawarij yang mengkafirkan sahabat Utsman, Ali, Abu Musa Al Asy’-ari yang akhirnya membunuh sahabat Ali R.a. Mereka adalah kaum yang mudah mengkafirkan orang yang tidak sefaham.
Apakah kita rela kalau nantinya negara republik Indonesia ini hilang, kemudian diganti dengan imperium tirani yang mereka cita citakan dan mereka kuasai dengan berkedok Islam? Naudzu billah min dzalik.
Kenapa pemerintahan Indonesia dianggap sah?
- Pertama, pemilihan secara langsung yang dilakukan di indonesia itu sama persis dengan pengangkatan Sayyidina Ali karramalahu wajhah untuk menduduki jabatan khilafah. Ini adalah pandangan ibnu katsir dalam kitab bidayah wan nihayah.
- Kedua, presiden terpilih di Indonesia dilantik oleh MPR yang dapat disepadankan dengan ahlulhalli wal aqdi.
- Ketiga, sudah terpenuhinya maqosid syariah (tujuan syariah) pernyataan ini telah digambarkan oleh Imam Ghozali dalam kitab Iqtishod fil i’tiqod, menyatakan “dengan demikian tidak bisa dipungkiri, kewajiban mengangkat seorang pemimpin karena mempunyai manfaat dan menjauhkan mudhorot di dunia ini”.
Terlebih lagi mendirikan khilafah itu terbantahkan oleh dalil-dalil berikut ini.
- Pertama, tidak memilki akar dalil syar’i yang qot’i. Karena itu sangat pantaslah dan menjadi tugas bersama untuk membangun suatu bangsa apapun bentuk sistemnya.
- Kedua, persoalan pemerintah (imamah) dalam pandangan ahlussunnah wal jamaah bukan bagian dari masalah aqidah, melainkan termasuk persoalan siyasah dan muamalah. Karena itu bolehlah untuk berbeda pandangan dalam memilih sistem. Asal maqosid syariah sudah terpenuhi
- Ketiga, secara geografis negara kita mempunyai banyak pulau, mengubah menjadi sistem khilafah itu akan menimbulkan kecemburuan agama lain untuk ikut juga merdeka (dalam artian menentukan sistem dalam mengatur hidup kelompok agama mereka), dan dampak ini akan terasa pada daerah yang Islamnya sangat minoritas.
- Keempat, masyarakat masih belum siap untuk melaksanakan hukum Islam secara kafah, terutama permasalahan pidana. Secara otomatis masyarakat yang sama sekali belum siap akan secara berangsur angsur akan meninggalkan agama Islam.
- Kelima, jika memang telah disepakati ide formalisasi syariah, maka timbul pertanyaan teori syariah manakah yang akan diterapkan?..
Source : Penolakan NU terhadap Khilafah sudah tepat karena Al-Quran sendiri tak pernah menganjurkan Berkhilafah, https://www.facebook.com/notes/warga-nahdliyin-dukung-pancasila-tolak-khilafah/penolakan-nu-terhadap-khilafah-sudah-tepat-karena-al-quran-sendiri-tak-pernah-me/10150499064386272/
Jawaban Gus Sholah Kepada Kelompok Khilafah
Menolak Ide Khilafah
Oleh: Moh Mahfud MD
"Buktikan bahwa sistem politik dan ketatanegaraan Islam itu tidak ada. Islam itu lengkap dan sempurna, semua diatur di dalamnya, termasuk khilafah sebagai sistem pemerintahan”. Pernyataan dengan nada agak marah itu diberondongkan kepada saya oleh seorang aktivis ormas Islam asal Blitar saat saya mengisi halaqah di dalam pertemuan Muhammadiyah se-Jawa Timur ketika saya masih menjadi ketua Mahkamah Konstitusi.
Saat itu, teman saya, Prof Zainuri yang juga dosen di Universitas Muhammadiyah Sidoarjo, mengundang saya untuk menjadi narasumber dalam forum tersebut dan saya diminta berbicara seputar ”Konstitusi bagi Umat Islam Indonesia”.
Pada saat itu saya mengatakan, umat Islam Indonesia harus menerima sistem politik dan ketatanegaraan Indonesia yang berdasar Pancasila dan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Sistem negara Pancasila yang berbasis pluralisme, Bhinneka Tunggal Ika, sudah kompatibel dengan realitas keberagaman dari bangsa Indonesia.
Saya mengatakan pula, di dalam sumber primer ajaran Islam, Al Quran dan Sunah Nabi Muhammad SAW, tidak ada ajaran sistem politik, ketatanegaraan, dan pemerintahan yang baku. Di dalam Islam memang ada ajaran hidup bernegara dan istilah khilafah, tetapi sistem dan strukturisasinya tidak diatur di dalam Al Quran dan Sunah, melainkan diserahkan kepada kaum Muslimin sesuai dengan tuntutan tempat dan zaman.
Sistem negara Pancasila
Khilafah sebagai sistem pemerintahan adalah ciptaan manusia yang isinya bisa bermacam-macam dari waktu ke waktu dan dari tempat ke tempat. Di dalam Islam tidak ada sistem ketatanegaraan dan pemerintahan yang baku.
Umat Islam Indonesia boleh mempunyai sistem pemerintahan sesuai dengan kebutuhan dan realitas masyarakat Indonesia sendiri. Para ulama yang ikut mendirikan dan membangun Indonesia menyatakan, negara Pancasila merupakan pilihan final dan tidak bertentangan dengan syariah sehingga harus diterima sebagai mietsaaqon ghaliedzaa atau kesepakatan luhur bangsa.
Penjelasan saya yang seperti itulah yang memicu pernyataan aktivis ormas Islam dari Blitar itu dengan meminta saya untuk bertanggung jawab dan membuktikan bahwa di dalam sumber primer Islam tidak ada sistem politik dan ketatanegaraan. Atas pernyataannya itu, saya mengajukan pernyataan balik. Saya tak perlu membuktikan apa-apa bahwa sistem pemerintahan Islam seperti khilafah itu tidak ada yang baku karena memang tidak ada.
Justru yang harus membuktikan adalah orang yang mengatakan, ada sistem ketatanegaraan atau sistem politik yang baku dalam Islam. ”Kalau Saudara mengatakan bahwa ada sistem baku di dalam Islam, coba sekarang Saudara buktikan, bagaimana sistemnya dan di mana itu adanya,” kata saya.
Ternyata dia tidak bisa menunjuk bagaimana sistem khilafah yang baku itu. Kepadanya saya tegaskan lagi, tidak ada dalam sumber primer Islam sistem yang baku. Semua terserah pada umatnya sesuai dengan keadaan masyarakat dan perkembangan zaman.
Buktinya, di dunia Islam sendiri sistem pemerintahannya berbeda-beda. Ada yang memakai sistem mamlakah (kerajaan), ada yang memakai sistem emirat (keamiran), ada yang memakai sistem sulthaniyyah (kesultanan), ada yang memakai jumhuriyyah (republik), dan sebagainya.
Bahwa di kalangan kaum Muslimin sendiri implementasi sistem pemerintahan itu berbeda-beda sudahlah menjadi bukti nyata bahwa di dalam Islam tidak ada ajaran baku tentang khilafah. Istilah fikihnya, sudah ada ijma’ sukuti (persetujuan tanpa diumumkan) di kalangan para ulama bahwa sistem pemerintahan itu bisa dibuat sendiri-sendiri asal sesuai dengan maksud syar’i (maqaashid al sya’iy).
Kalaulah yang dimaksud sistem khilafah itu adalah sistem kekhalifahan yang banyak tumbuh setelah Nabi wafat, maka itu pun tidak ada sistemnya yang baku.
Di antara empat khalifah rasyidah atau Khulafa’ al-Rasyidin saja sistemnya juga berbeda-beda. Tampilnya Abu Bakar sebagai khalifah memakai cara pemilihan, Umar ibn Khaththab ditunjuk oleh Abu Bakar, Utsman ibn Affan dipilih oleh formatur beranggotakan enam orang yang dibentuk oleh Umar.
Begitu juga Ali ibn Abi Thalib yang keterpilihannya disusul dengan perpecahan yang melahirkan khilafah Bani Umayyah. Setelah Bani Umayyah lahir pula khilafah Bani Abbasiyah, khilafah Turki Utsmany (Ottoman) dan lain-lain yang juga berbeda-beda.
Yang mana sistem khilafah yang baku? Tidak ada, kan? Yang ada hanyalah produk ijtihad yang berbeda-beda dari waktu ke waktu dan dari tempat ke tempat. Ini berbeda dengan sistem negara Pancasila yang sudah baku sampai pada pelembagaannya. Ia merupakan produk ijtihad yang dibangun berdasar realitas masyarakat Indonesia yang majemuk, sama dengan ketika Nabi membangun Negara Madinah.
Berbahaya
Para pendukung sistem khilafah sering mengatakan, sistem negara Pancasila telah gagal membangun kesejahteraan dan keadilan. Kalau itu masalahnya, maka dari sejarah khilafah yang panjang dan beragam (sehingga tak jelas yang mana yang benar) itu banyak juga yang gagal dan malah kejam dan sewenang-wenang terhadap warganya sendiri.
Semua sistem khilafah, selain pernah melahirkan penguasa yang bagus, sering pula melahirkan pemerintah yang korup dan sewenang-wenang.Kalaulah dikatakan bahwa di dalam sistem khilafah ada substansi ajaran moral dan etika pemerintahan yang tinggi, maka di dalam sistem Pancasila pun ada nilai-nilai moral dan etika yang luhur. Masalahnya, kan, soal implementasi saja. Yang penting sebenarnya adalah bagaimana kita mengimplementasikannya
Maaf, sejak Konferensi Internasional Hizbut Tahrir tanggal 12 Agustus 2007 di Jakarta yang menyatakan ”demokrasi haram” dan Hizbut Tahrir akan memperjuangkan berdirinya negara khilafah transnasional dari Asia Tenggara sampai Australia, saya mengatakan bahwa gerakan itu berbahaya bagi Indonesia. Kalau ide itu, misalnya, diterus-teruskan, yang terancam perpecahan bukan hanya bangsa Indonesia, melainkan juga di internal umat Islam sendiri.
Mengapa? Kalau ide khilafah diterima, di internal umat Islam sendiri akan muncul banyak alternatif yang tidak jelas karena tidak ada sistemnya yang baku berdasar Al Quran dan Sunah. Situasinya bisa saling klaim kebenaran dari ide khilafah yang berbeda-beda itu. Potensi kaos sangat besar di dalamnya.
Oleh karena itu, bersatu dalam keberagaman di dalam negara Pancasila yang sistemnya sudah jelas dituangkan di dalam konstitusi menjadi suatu keniscayaan bagi bangsa Indonesia. Ini yang harus diperkokoh sebagaimietsaaqon ghaliedzaa (kesepakatan luhur) seluruh bangsa Indonesia. Para ulama dan intelektual Muslim Indonesia sudah lama menyimpulkan demikian.
Moh Mahfud MD
Ketua Umum Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara (APHTN-HAN); Ketua Mahkamah Konstitusi RI Periode 2008-2013
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 26 Mei 2017, di halaman 6 dengan judul "Menolak Ide Khilafah".
Source : http://nasional.kompas.com/read/2017/05/26/15370351/menolak.ide.khilafah
Kiai Muchith: NU Tolak Khilafah Islamiyah atas Dasar yang Jelas
Mustasyar Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Muchith Muzadi menegaskan, NU menolak gagasan dan sistem Khilafah Islamiyah (Pemerintahan Islam) karena memiliki pendirian dan dasar yang jelas, bukan dipengaruhi kelompok liberal, imperialis atau kapitalis.“NU memiliki khittah (landasan) sendiri. NU tidak memaksakan syariat Islam dalam sebuah negara, apalagi dengan cara kekerasan. Berbeda dengan kelompok liberal yang menolak syariat agama dalam bentuk apapun,” terang Kiai Muchith, begitu panggilan akrabnya, kepada NU Online di Jember, Jawa Timur, Selasa (21/8).
Namun demikian, tambahnya, NU tidak berarti menerima liberalisme dan imperialisme. Penolakannya pun bukan atas pengaruh kelompok Islam fundamentalis. NU sejak awal memang berjuang menegakkan akhlakul karimah dan keadilan sosial yang banyak dilanggar kaum liberal-kapitalis.
Menurutnya, walaupun NU sebagai ormas Islam yang dengan sendirinya memperjuangkan berlakunya syariat Islam, tetapi NU memiliki perbedaan dengan kelompok lain. “Jadi, kita mandiri dalam berpikir dan bertindak,” ujar Kiai Muchith yang juga kakak kandung Ketua Umum PBNU KH Hasyim Muzadi.
Kiai Muchith menyarankan agar seluruh jajaran PBNU lebih kompak dan tidak bergerak sendiri-sendiri menghadapi ancaman terhadap keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia dan Pancasila. Ancaman itu, katanya, semakin nyata, terutama setelah Hizbut Tahrir Indonesia cukup terang-terangan mengkampanyekan pendirian Khilafah Islamiyah di Indonesia.
Ia juga meminta PBNU agar memberikan tuntunan yang jelas dan gamblang pada warga Nahdliyin di lapisan bawah sekalipun tentang bahaya tersebut berikut upaya menghadapinya. Karena kelompok itulah yang menjadi sasaran fundamentalisme dan liberalisme. “Sementara, mereka tidak tahu asal-usul dan bahayanya,” tandasnya.
“Apalagi kalangan muda yang dinamis, kalau tidak diselematkan akan terjerumus pada fundamentalisme maupun liberalisme yang ‘dijajakan’ ke berbagai sekolah dan pesantren atas nama Hak Asasi Manusia, demokrasi, pluralisme, gender dan lingkungan hidup,” tambah Kiai Muchith.
Langkah Ketua Umum PBNU KH Hasyim Muzadi berbicara langsung dengan para pengurus ranting beberapa waktu lalu, menurutnya, langkah yang sangat strategis. “Tetapi, langkah itu perlu disertai istilah atau idiom yang lebih jelas dan mudah dipahami, agar pengetahuan yang disampaikan bisa menjadi pegangan dan modal dari gerakan para ulama tingkat ranting dalam memperjuangkan agama, bangsa dan negara ini. (Source : http://www.nu.or.id/post/read/9795/kiai-muchith-nu-tolak-khilafah-islamiyah-atas-dasar-yang-jelas )
Silahkan SHARE jika dirasa bermanfaat.
Tolak Khilafah NKRI Harga Mati
Reviewed by Edi Sugianto
on
02.08
Rating:
Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.
BalasHapusAssalamu'alaikum Warahmatullahi wabarkatuh
BalasHapusSahabat se-aqidah , Salam Ukhuwah.
Allah Subhanahu wata’ala berfirman (yang artinya) :
“Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya” [QS. An-Nisaa’ : 65].
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Bukankah Allah adalah sebaik-baik pemberi ketetapan hukum?” (QS. At-Tiin: 8).
“Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. Dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebahagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu. Jika mereka berpaling (dari hukum yang telah diturunkan Allah), maka ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah menghendaki akan menimpakan musibah kepada mereka disebabkan sebahagian dosa-dosa mereka. Dan sesungguhnya kebanyakan manusia adalah orang-orang yang fasik” [QS. Al-Maaidah : 49].
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Tidaklah pantas bagi seorang lelaki yang beriman, demikian pula perempuan yang beriman, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu perkara lantas masih ada bagi mereka pilihan yang lain dalam urusan mereka. Barangsiapa yang durhaka kepada Allah dan Rasul-Nya sungguh dia telah tersesat dengan kesesatan yang amat nyata.” (QS. Al-Ahzab: 36)
“Dan barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir, dzalim, fasik” (QS al-Maidah [5]: 44-45-47).
“Apakah hukum jahiliyah yang mereka cari? Dan siapakah yang lebih baik hukumnya daripada [hukum] Allah bagi orang-orang yang yakin.” (QS. Al-Ma’idah: 50)
Allah berfirman : "Sesungguhnya Kami telah menurunkan Kitab kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu," [An Nisa' :105].
firman-Nya: "Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah. Dia menerangkan yang sebenarnya dan Dia pemberi keputusan yang paling baik." [Al An'am: 57].
“Dan orang-orang yang membangkang dan mendustakan ayat-ayat kami (Al-Quran), mereka itu menjadi penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya”. (QS.Al-Baqoroh:39)
Allah Subhanahu wata’ala berfirman:
“Apabila dikatakan kepada mereka, ‘Marilah kamu (tunduk) kepada hukum yang Allah telah turunkan dan kepada hukum Rasul,’ niscaya kamu lihat orang-orang munafik menghalangi (manusia) dengan sekuat-kuatnya dari (mendekati) kamu..” (An-Nisâ’: 61)