Mekanisme Fight or Flight dalam Hipnosis
Mekanisme Fight or Flight dalam Hipnosis
Selama ini, banyak Guru Hipnotis dan juga praktisi hipnotis yang sudah menuliskan dan juga menjelaskan mengenai mekanisme kerja pikiran yang terbagi menjadi dua, yaitu pikiran sadar dan pikiran bawah sadar. Namun sangat jarang saya menemukan adanya tulisan yang membahas Naluri dasar manusia yang berada di dimensi Unconscious Mind. Yaitu Mekanisme Fight or Flight.Padahal Mekanisme Fight or Flight sangat besar andilnya sebagai penyebab berbagai penyakit psikosomatis. Dan Mekanisme Fight or Flight inipun sebenarnya merupakan salah satu pintu untuk memproduksi atau menggenerate kondisi Hypnosis State (Trance) yang diperlukan di dalam sebuah sesi Hipnosis ataupun Hipnoterapi.
Dan untuk memahami Mekanisme Fight or Flight dalam kehidupan kita, mari kita baca dulu kaitan antara Stress, Mekanisme Fight or Flight, dan penyakit psikosomatis.
Definisi & Istilah :
- Stress : Reaksi fisiologis terhadap persepsi dari peristiwa yang mengancam
- Stressor : Stimulus apapun yang menghasilkan respon stress (eg : panas, dingin, racun,toxin bakteri, perdarahan hebat, atau reaksi emosional yang kuat seperti marah, takut)
- Stress response : Reaksi individu terhadap stressor. Respon terhadap stressor ini bisa menyenangkan atau tidak menyenangkan juga bervariasi pada setiap orang. Stress response ini dikontrol utamanya oleh hypothalamus. Jika stress tersebut extreme, tidak biasa dan berlangsung lama maka mungkin mekanisme homeostasis tubuh tidak bisa mengatasi stress sehingga bisa terjadi perubahan dalam tubuh individu.
Hormon ini membantu kita untuk berjalan lebih cepat dan berjuang lebih keras. Mereka meningkatkan denyut jantung dan tekanan darah, memberikan lebih banyak oksigen dan gula darah ke otot-otot penting. Mereka meningkatkan produksi keringat dalam upaya untuk mendinginkan otot-otot, dan ini membantu mereka tetap efisien. Mereka mengalihkan darah dari kulit ke inti dari tubuh kita, mengurangi kehilangan darah jika terjadi luka. Dan juga karena hal ini, hormon ini memusatkan perhatian kita pada ancaman, dengan mengesampingkan segala sesuatu yang lain. Semua ini secara signifikan meningkatkan kemampuan kita untuk bertahan hidup dari adanya peristiwa yang mengancam jiwa.
Sayangnya, mobilisasi tubuh ini untuk kelangsungan hidup juga memiliki konsekuensi negatif. Dalam keadaan ini, kita memang menjadi bersemangat namun sekaligus juga cemas, gelisah dan mudah tersinggung. Hal ini dapat mengurangi kemampuan kita untuk bekerja secara efektif.
Stress berkepanjangan rentan mendatangkan penyakit akibat rendahnya daya tahan tubuh. Itulah sebabnya mengapa orang stress mudah terkena flu, demam sakit, perut sariawan, dsb
Secara bahasa stress itu artinya tekanan. Tekanan itu ada yang baik ada pula yang buruk. Tekanan yang baik dapat memacu seseorang melakukan sesuatu dengan lebih baik, sedangkan tekanan yang buruk berjalan sebaliknya. Menurut Dr. Hans Seyle, tekanan yang baik disebu eustres dan tekanan yang buruk disebut distress. Jadi stess itu tidak selalu buruk. Bahkan Dr. Seyle memperlihatkan bahwa eustres bisa menopang sistem kekebalan tubuh meningkatkan harapan hidup dan kebahagiaan.
Apa yang terjadi pada tubuh saat stress datang..?
Tubuh kita dilengkapi sejenis “alarm” yang akan bereaksi saat kita mengalami tekanan. Alarm ini melahirkan sebuah mekanisme yang disebut fight or flight mechanism. Maksudnya tubuh akan menghadapi tekanan tersebut atau melarikan diri. Misalnya ketika dikejar deadline atau akan menghadapi ujian, tubuh akan bereaksi secara alamiah yang ditandai keluarnya keringat dingin, timbul rasa takut, atau rasa gelisah. Pada beberapa orang, kondisi ini malah mempertajam pikiran sehingga dapat belajar lebih cepat. Ini merupakan mekanisme fight. Sebaliknya ada orang terkena depresi ketika ia tidak mampu lagi menghadapi tekanan yang datang. Inilah mekanisme flight (terbang/kabur).
Keika stress tubuh mengeluarkan adrenalin dalam jumlah besar. Nah adrenalin ini membantu tumbuh beradaptasi dengan stress tersebut. Misalnya saat sedang marah atau takut. Tubuh dibuat lebih “efisien” menghadapi situasi tertentu. Missal dengan meningkatnya denyut jantung dan naiknya tekanan darah. Dalam tubuh pun terjadi pemecahan glikogen (energi cadangan tubuh) menjadi glukosa (gula darah) dengan tujuan menyediakan energi tambahan bagi otot.
Stress fisik maupun emosi dapat memicu dan meningkatkan produksi adrenalin secara berlebihan. Hal ini berpotensi melemahkan sistem imun (kekebalan tubuh) kita. Karena itu, stress berkepanjangan rentan mendatangkan penyakit akibat rendahnya daya ahan tubuh. Iulah sebab mengapa orang stress mudah terkena flu, demam, sakit perut, sariawan, dsb.
Mekanisme fight or flight ini membakar banyak energi, yang di ikuti terjadinya kelelahan. Saat kelelahan, orang akan kehabisan energi untuk melakukan aktivitas sehari-hari. Tidak heran bila orang stres akan mendapati gejala nyeri otot dan sendi, sakit kepala depresi, cemas dan mudah tersinggung.
Sistem Saraf
Stress merupakan salah satu kondisi yang didominasi oleh saraf simpatis.
Sistem saraf otonom (ANS) dibagi menjadi 2 divisi yaitu divisi simpatis dan divisi parasimpatis. Biasanya kedua sistem ini aktif secara bersamaan. Mereka memperlihatkan tingkat aktivitas yang disebut tonus otonom. Keseimbangan antara tonus simpatik dan parasimpatik berubah-ubah sesuai dengan kebutuhan tubuh.
Divisi parasimpatis mendominasi selama kondisi istirahat dan tidur (“rest and digest”), karena memiliki efek menenangkan pada banyak fungsi tubuh. Hal ini terkait dengan pengurangan pengeluaran energi dan perawatan tubuh normal,seperti fungsi pencernaan dan eliminasi zat-zat ekskresi. Dominasi parasimpatis juga terjadi pada kondisi yang disebut SLUDD (Salivation, Lacrimation, Urination, Digestion, Defecation).
Sedangkan selama stress dan “E” situation (Exercise, Emergency, Excitement, Embrassement) divisi simpatis lebih mendominasi. Walter Cannon mengistilahkan aktivitas divisi simpatis sebagai respons fight or flight karena aktivitas simpatis ini mendominasi disaat kita harus menyerang, mempertahankan diri atau melarikan diri terhadap situasi yang membahayakan.
STRES DAN MEKANISME ADAPTASI
Menurut Hans Selye dari Handbook of Stres, stres adalah suatu hasil yang biasanya bersifat nonspesifik terhadap beban dan dapat menimbulkan efek mental ataupun somatik. Selain itu, stres dapat pula diartikan sebagai usaha penyesuaian diri terhadap stresor. Stres yang terjadi dapat merupakan stres fisik atau psikologi. Reaksi yang ditunjukkan individu dapat bervariasi dan jelas bergantung pada keparahan situasi. Faktor predisposisi seperti kepribadian atau adanya riwayat gangguan mental di masa lalu dapat membuat reaksi menjadi lebih serius. Reaksi stres dirasakan baik dalam level fisik, kognitif, emosi, dan perilaku.
Stresor adalah segala hal yang dapat menyebabkan stres. Keparahan stresor atau banyak stresor tidak selalu memprediksikan keparahan gangguan/efek yang ditimbulkan. Keparahan stresor adalah fungsi derajat, kuantitas, durasi, reversibilitas, lingkungan, dan konteks pribadi yang kompleks. Contohnya, kehilangan orang tua berbeda pada anak berusia 10 tahun dan 40 tahun. Pengaturan kepribadian serta norma atau nilai budaya atau kelompok juga turut berperan di dalam ketidakproporsionalan respons terhadap stresor.
Stres dibagi menjadi dua macam :
A. Eustres
Eustres atau stres positif muncul saat level stres cukup tinggi untuk memotivasi seseorang melakukan sesuatu demi mencapai suatu tujuan
B. Distres
Distres atau stres negatif muncul saat level stres, baik terlalu tinggi atau terlalu rendah, membuat badan dan pikiran seseorang mulai memberikan respon negatif terhadap stresor.
Hans Seyle mengembangkan suatu model stres yang disebut sindrom adaptasi umum. Model ini terdiri atas tiga fase:
1. Tahap alarm (alarm stage)
Saat seseorang mulai merasakan adanya kejadian atau menerima sesuatu yang membuat stres, perubahan psikologi terjadi dalam tubuh. Pengalaman atau hal tersebut mengganggu keseimbangan normal tubuh dan secara cepat, terjadi respon tubuh seefektif mungkin terhadap stresor.
Contoh:
- Jantung: denyut jantung meningkat
- Pernapasan: respirasi meningkat
- Kulit: temperatur menurun
- Hormonal: stimulasi terhadap kelenjar adrenal meningkat dan menimbulkan ‘adrenal rush’
Selama fase ini, tubuh mencoba untuk cope (mengatasi) atau beradaptasi dengan stresor dengan memulai proses perbaikan terhadap kerusakan yang terjadi karena stresor tersebut.
Contoh:
- Indikator perilaku termasuk kurangnya perhatian kepada keluarga, sekolah, atau pekerjaan; perubahan kebiasaan makan; insomnia;hypersomnia; marah; dan kelelahan
- Indikator kognitif meliputi penyelesaian masalah yang buruk, mimpi buruk, kebingungan, dan hypervigilance (kewaspadaan meningkat)
- Indikator emosional termasuk menangis, ketakutan, cemas, panik, merasa bersalah, depresi, gelisah,
Selama fase ini, stresor tidak dapat ditangani secara efektif sehingga tubuh dan pikiran tidak mampu untuk memperbaiki kerusakan. Contoh: gangguan pencernaan, sakit kepala, insomnia, emosi.
Respon Tubuh terhadap Stres
Respon neurotransmitter
Stresor mengaktifkan sistem noradrenergik di otak (paling jelas di locus ceruleus) dan menyebabkan pelepasan katekolamin dari sistem saraf otonom. Stresor juga mengaktifkan sistem serotonergik di otak, seperti yang dibuktikan dengan meningkatnya pergantian serotonin. Stres juga meningkatkan neurotransmisi dopaminergik pada jaras mesofrontal. Neurotransmitter asam amino dan peptidergik juga terlibat di dalam respon stres.
Sejumlah studi menunjukkan bahwa corticotrophin-releasing factor (CRF) (sebagai neurotransmitter, bukan sebagai pengatur hormonal fungsi aksis hipotalamus-hipofisis-adrenal), glutamat (melalui reseptor N-metil-D-aspartat [NMDA]) dan gama aminobutiric acid (GABA) semuanya memainkan peranan penting di dalam menimbulkan respon stres atau mengatur sistem yang berespon terhadap stres lainnya seperti sirkuti otak dopaminergik dan noradrenergik.
Respon endokrin
Sebagai respon terhadap stres, CRF disekresikan dari hipotalamus ke sistem hipofisial-hipofisis-portal. CRF bekerja di hipofisis anterior untuk memicu pelepasan hormon adrenokortokotropin (ACTH). Setelah dilepaskan, ACTH bekerja di korteks adrenal untuk merangsang sintesis dan pelepasan glukokortikoid. Glukokortikoid sendiri memiliki jutaan efek di dalam tubuh, tetapi kerjanya dapat dirangkum dalam istilah singkat untuk meningkatkan penggunaan energi, meningkatkan aktivitas kardiovaskuler (di dalam respon fight or flight), dan menghambat fungsi seperti pertumbuhan, reproduksi, dan imunitas.
Aksis hipotalamus-hipofisis-adrenal merupakan pelaku pengendali umpan balik negatif yang ketat melalui produk akhirnya sendiri (ACTH dan kortisol) di berbagai tingkat, termasuk hipofisis anterior, hipotalamus, dan region otak suprahipotalamik seperti hipokampus. Di samping CRF, berbagai secretagogue (zat yang merangsang pelepasan ACTH) dikeluarkan dan dapat memintas pelepasan CRF serta bekerja langsung untuk memulai kaskade glukokortikoid. Contoh secretagogue termasuk katekolamin, vasopressin, dan oksitosin. Yang menarik, stresor berbeda (stres dingin lawan hipotensi) memicu pola pelepasan secretagogue yang berbeda, juga menunjukkan bahwa gagasan respons stres yang sama terhadap stresor umum adalah terlalu disederhanakan.
Respon Imun
Bagian dari respon stres terdiri atas inhibisi fungsi imun oleh glukokortikoid. Inhibisi dapat mencerminkan kerja kompensasi aksis hipotalamus-hipofisis-adrenal untuk mengurangi efek fisiologis stres lainnya. Sebaliknya stres juga dapat menyebabkan aktivasi imun melalui berbagai jalur. CRF sendiri dapat merangsang pelepasan norepinefrin melalui reseptor CRF yang terletak di locus cereleus yang mengaktifkan sistem saraf simpatis, baik sentral maupun perifer, serta meningkatkan pelepasan epinefrin dari medulla adrenal. Di samping itu, terdapat hubungan langsung neuron norepinefrin yang bersinaps pada sel target imun. Dengan demikian, di dalam menghadapi stresor, juga terdapat aktivasi imun yang dalam termasuk pelepasan faktor imun humoral (sitokin) seperti IL-1 dan IL-6. Sitokin dapat meyebabkan pelepasan CRF lebih lanjut yang di dalam teori berfungsi untuk meningkatkan efek glukokortikoid sehingga membatasi sendiri aktivasi imun.
Perubahan Kehidupan
Peristiwa atau situasi kehidupan, menyenangkan atau tidak menyenangkan (penderitaan menurut Selye) sering terjadi tanpa disengaja, menimbulkan tantangan yang harus ditanggapi dengan adekuat. Daya tahan stres atau nilai ambang stres (stress/frustration threshold/tolerance) pada setiap orang berbeda-beda. Hal ini tergantung pada keadaan somato-psiko-sosial orang itu. ada orang yang peka terhadap stresor tertentu yang dinamakan stresor spesifik karena pengalaman dahulu yang menyakitkan tidak dapat diatasinya denagn baik.
Menurut teori, setiap orang dapat saja terganggu jiwanya, asal stresor cukup besar, cukup lama atau cukup spesifik walaupun orang tersebut memiliki kepribadian dan emosi yang stabil.
Thomas Holmes dan Richard Rahe membangun skala penilaian penyesuaian sosial setelah menanyakan 394 orang dari berbagai latar belakang untuk mengurutkan derajat relatif penyesuaian yang diperoleh dengan perubahan peristiwa kehidupan. Mereka mendafarkan 43 peristiwa kehidupan yang menyebabkan berbagai gangguan dan stres pada kehidupan rata-rata orang. Akumulasi 200 atau lebih unit perubahan kehidupan dalam satu tahun meningkatkan risiko timbulnya gangguan psikosomatik pada tahun itu. Yang menarik, orang yang menghadapi stres umum dengan optimis, bukannya pesimis, lebih kecil kemungkinannya untuk mengalami gangguan psikosomatik. Jika mengalami, mereka lebih mudah pulih.
Adaptasi
Setiap orang memiliki cara sendiri untuk menyesuaikan diri terhadap stres, karena penilaian terhadap stresor dan stres berbeda (faktor internal), dan karena tuntutan terhadap individu berbeda (faktor eksternal). Hal tersebut antara lain tergantung pada umur, jenis kelamin, kepribadian, intelegensi, emosi, status sosial, dan pekerjaan individu. Langkah pertama dalam menghadapi dan mengatasi stres adalah mengakui bahwa sedang mengalami stres. Seseorang harus menyadari apa yang sedang terjadi dengan dirinya sendiri, yaitu dengan memperhatikan gejala-gejala dalam diri.
Apabila seseorang merasa mampu mengatasi stres, maka perilakunya akan cenderung berorientasi pada tugas (task oriented), yang tujuan utamanya adalah menghadapi tuntutan keadaan yang menjadi stresor. Cara penyesuaian ini bertujuan menghadapi tuntutan secara sadar, realistik, objektif dan rasional.
Cara ini mungkin terbuka atau terselubung dan dapat berupa:
- Serangan atau menghadapi tuntutan secara frontal
- Penarikan diri atau tidak mau tahu lagi tentang keadaan
- Kompromi
Akan tetapi, bila stres mengancam kemampuan dan harga diri, maka reaksinya akan cenderung berorientasi pada pembelaan ego, yang tujuan utamanya adalah melindungi diri sendiri terhadap rasa devaluasi diri dan meringankan ketegangan serta kecemasan yang menyakitkan. Mekanisme ini penting karena melunakkan kegagalan, menghilangkan kecemasan, mengurangi perasaan menyakitkan karena pengalaman tidak menyenangkan, serta untuk mempertahankan perasaan layak dan harga diri. Mekanisme ini sebenarnya normal, kecuali sudah menjadi sedemikian keras sehingga bukan lagi membantu malah mengganggu integritas pribadi.
Namun, mekanisme pembelaan ego sebenarnya tidak realistik karena secara riil tidak mengatasi masalah penyesuaian (tidak seperti reaksi yang berorientasi pada tugas), tetapi mengandung banyak unsur penipuan diri sendiri dan distorsi realitas. Lagipula mekanisme ini sebagian besar bekerja secara tidak disadari, sehingga sukar untuk dinilai dan dievaluasi secara sadar. Berbagai macam mekanisme pembelaan ego dapat dilihat pada halaman lampiran. Apabila stres terjadi terus menerus dan melampaui daya penyesuaian, maka seseorang dapat mengalami dekompensasi kepribadian dan perilakunya akan menunjukkan tanda-tanda disorganisasi dan disintegrasi.
Sekilas Mengenai Psikosomatik
Menurut Wittkower psikosomatis secara luas didefinisikan sebagai usaha untuk mempelajari interelasi aspek-aspek psikologis dan fisik semua faal tubuh dalam keadaan normal maupun abnormal. Ilmu ini mencoba mempelajari, menemukan interelasi dan interaksi antara fenomena kehidupan psikis dan somatik dalam keadaan sehat maupun sakit. Keluhan yang disampaikan penderita gangguan psikosomatik biasanya keluhan fisik, sangat jarang yang mengeluh tentang kecemasan, depresi dan ketegangannya.
Menurut Townsend, ada beberapa gejala spesifik gangguan psikosomatik pada sistem tubuh, diantaranya kardiovaskuler (migrain, hipertensi, sakit kepala berat), pernafasan (hiperventilasi, asma), gastrointestinal ( sindrom asam lambung, anoreksia), kulit (neodermatitis, pruritus, alergi), genitourinaria (dismenore), endokrin (hipertiroid, sindrom menopause)
Gangguan Kardiovaskuler
Mekanisme yang terjadi pada psikosomatis dapat melalui rasa takut atau kecemasan yang akan meningkatkan denyut jantung, daya pompa jantung dan tekanan darah, menimbulkan kelainan pada ritme dan EKG. Gejala-gejala yang sering didapati, antara lain takikardia, palpitasi, aritmia, nyeri perikardial, napas pendek, LELAH, merasa seperti akan pingsan, sukar tidur. Gejala- gejala seperti ini sebagian besar merupakan manifestasi gangguan kecemasan.
Mekanisme Fight or Flight dalam Hipnosis
Wah, panjang banget ya penjabaran mengenai Mekanisme Fight or Flight dan kaitannya dengan stress serta penyakit psikosomatis. Lalu apa kaitannya Mekanisme Fight or Flight dengan Hipnosis...???
Nah, karena tulisan ini saja sudah cukup panjang. Dan untuk menghindari anda menjadi stress gara-gara kecapekan membaca tulisan ini. Mungkin ada baiknya penjelasan mengenai Mekanisme Fight or Flight dalam Hipnosis akan saya jelaskan dalam Workshop saja ya... Okey..???
Kapan Pelatihan Hipnotis dan Hipnoterapi yang menjelaskan mengenai Mekanisme Fight or Flight dalam Hipnosis akan diselenggarakan...???
Jadwal Terdekat pelatihan Hipnosis & Hipnoterapi di Surabaya adalah pada tanggal 20 & 21 Juli 2014. Untuk keterangan lengkapnya, silahkan Klik Di Sini..
Referensi Artikel :
Blog FaryDaryani.
Blog Nurhana
Mekanisme Fight or Flight dalam Hipnosis
Reviewed by Edi Sugianto
on
08.38
Rating:
Tidak ada komentar: