Ilmu Psikologi dalam Pandangan Imam al-Ghazali
Dalam dunia tasawuf, psikologi dikembangkan bukan hanya untuk tujuan teoritis belaka. Melainkan untuk melakukan transformasi jiwa. Karena bagi sufi transformasi jiwa merupakan hal yang paling urgen dalam suatu disiplin ilmu. Ilmu yang tidak menghasilkan sebuah transformasi jiwa akan dipandang rendah, bagaimanapun sistematisnya ia secara teoritis. J. Rumi pernah mengeritik teologi dan fiqh karena kecendrungannya pada “formalisme”. Ia gagal dalam melakukan transformasi jiwa. Hanya tasawuflah yang akan mampu melakukan transformasi jiwa seseorang.[Lynn Wilcox, Criticism of Islam Psychology]
Sepanjang sejarah pemikiran tasawuf, banyak teori psikologi yang dikembangkan oleh para sufi. Istilah-istilah yang dikemukakan oleh para sufi juga berbeda-beda. Tetapi sudah menjadi semacam kesepakatan bahwa psikologi sufi berkisar pada tiga konsepsi dasar kejiwaan. Yaitu, hati, diri (nafs), dan jiwa (ruh).[Robert Frager, Hati, Diri, dan Jiwa: Psikologi Sufi untuk Transformasi. 1999. Serambi.]
Psikologi atau 'ilm al-nafs dalam pandangan Imam al-Ghazali (w.505H/1111M), termasuk dalam kategori ilmu-ilmu terapan. Psikologi pada hakekatnya bertujuan melatih jiwa dan pengendalian hawa nafsu. Termasuk dalam hal ini adalah bagaimana melatih jiwa dalam bermuamalah kepada seluruh anggota keluarga, pembantu dan budak. (lihat: Mizanul 'Amal)
Dalam sejarah pemikiran filsafat dan keagamaan Islam, Al-Ghazali menempati kedudukan yang sangat unik, karena pertimbangan kedalaman pengetahuannya, orisinilitas, dan pengaruh pemikirannya. Sehingga ia dijuluki the proof of Islam (hujjat al-Islam), the ornament of faith (zain al-din), dan the renewer of religion (mujaddid). Juga dalam dirinya terkumpul hampir semua jenis pemikiran dari berbagai gerakan intelektual dan keagamaan. Maka, tidaklah mengherankan jika ia terkenal sebagai seorang pakar dalam berbagai disiplin ilmu seperti teologi, fikih, filsafat, dan tasawuf.
Dalam kitabnya Ihya 'Ulumiddin, beliau menjelaskan bahwa mempelajari disiplin ilmu jiwa ini adalah wajib. Sebab dengan menguasai ilmu inilah tercapainya cara-cara pensucian jiwa. "Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu" (QS. 91:9). Sedangkan mengabaikan ilmu ini akan berakhir pada kerugian. "Dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotori jiwanya" (QS. 91:10). Hal ini dikarenakan bahaya penyakit kalbu lebih parah daripada penyakit fisik. Sebab penyakit fisik hanya merenggut kehidupan yang fana, sementara penyakit hati menyebabkan kehancuran pada kehidupan yang abadi. Maka perhatian terhadap kecermatan tentang kaedah-kaedah penyembuhan penyakit kalbu harus lebih diutamakan.
Di samping itu, al-Ghazali menjelaskan bahwa ilmu jiwa pada intinya difokuskan untuk mengarahkan tiga kekuatan dalam diri manusia, yakni
Fokus pertama adalah pembinaan kekuatan fikir.
Dan terbinanya potensi fikir membuka manusia meraih hikmah. Dengan hikmah, manusia tidak lagi mencampuradukkan antara keimanan terhadap yang hak dan batil, antara perkataan yang benar dan dusta, antara perbuatan yang terpuji dan tercela, dst. Hikmah juga menjaga akal manusia agar tidak terjerumus kedalam limbah relativisme dan belantara purba sangka dalam berislam.
Yang kedua, fokus ilmu jiwa ditujukan pada pengendlian dan pengarahan kekuatan syahwat.
Dengan terarahnya potensi ini, maka tercapailah kesederhanaan jiwa ('iffah). 'Iffah akan membentengi manusia dari perbuatan maksiat dan senantiasa mendorongnya untuk mendahulukan perilaku yang terpuji. Sedangkan fokus ketiga diarahkan untuk mengendalikan kekuatan amarah hingga tercapainya kesabaran (hilm) dan keberanian (syaja'ah).
Maka keadilan akan bersemai dalam jiwa seseorang, jika dia telah berhasil mengelola ketiga kekuatan di atas.
Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu hanyalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjihad dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah. Mereka itulah orang-orang yang benar. (QS. 49:15)
Keimanan kepada Allah dan Rasul-Nya pada ayat di atas disertai dengan menafikan keraguan. Dan keraguan hanya bisa dinafikan dengan adanya keyakinan ilmu dan hikmah, yang diperoleh dari terarahnya potensi fikir. Berjihad dengan harta terlaksana berkat 'iffah yang lahir dari potensi syahwat yang telah dikendalikan. Sedangkan berjihad (mujahadah), tidak terlaksana kecuali adanya keberanian dan kesabaran yang merupakan buah pengendalian potensi amarah.
Dengan demikian jiwa yang sehat itu menurut imam al-Ghazali, jika ia dihiasi dengan empat induk kesalehan, yakni :
Arti Ruh,Nafs dan Akal menurut Imam Al-Ghazali
Ruh
Berbicara tentang Ruh maka tidak bisa dilepaskan dari salah satu faktor pendukung yang tak kalah penting, yaitu Hati.
Dalam hal ini hati mempunya dua makna,
Kata Nafs mengandung beberapa makna ( jiwa, diri, nafsu, sukma, dsb). Namun yang berkaitan dalam pembahasan ini hanya ada dua makna saja ,
pertama yang mencakup emosi atau amarah dan ambisi atau hasrat dalam diri manusia (biasa disebut ‘nafsu”). Makna inilah yang biasa digunakan para ahli tasawuf , karena mereka mengartikan kata nafs sebagai sesuatu sifat yang tercela pada diri manusia. Itulah sebabnya mereka mengharuskan untuk melawan hawa nafsu atau pun mengekangnya.
Makna tersebut juga di isyaratkan oleh nabi Muhamad SAW seperti dalam sabdanya “musuhmu yang terbesar adalah hawa nafsu yang ada dalam dirimu”.
Makna kedua dari Nafs adalah seperti makna hati di atas, yaitu sesuatu yang abstrak yang membentuk diri manusia secara hakiki.
Sehingga dalam hal ini boleh dikatakan bahwa Nafs mempunyai dua makna Yaitu :
Kata ini juga mengandung beberapa makna, akan tetapi dalam hal ini hanya akan kita bahas dua makna saja
Wallahu’alam bi-ash-shawab.
Ref. :
Sepanjang sejarah pemikiran tasawuf, banyak teori psikologi yang dikembangkan oleh para sufi. Istilah-istilah yang dikemukakan oleh para sufi juga berbeda-beda. Tetapi sudah menjadi semacam kesepakatan bahwa psikologi sufi berkisar pada tiga konsepsi dasar kejiwaan. Yaitu, hati, diri (nafs), dan jiwa (ruh).[Robert Frager, Hati, Diri, dan Jiwa: Psikologi Sufi untuk Transformasi. 1999. Serambi.]
Psikologi atau 'ilm al-nafs dalam pandangan Imam al-Ghazali (w.505H/1111M), termasuk dalam kategori ilmu-ilmu terapan. Psikologi pada hakekatnya bertujuan melatih jiwa dan pengendalian hawa nafsu. Termasuk dalam hal ini adalah bagaimana melatih jiwa dalam bermuamalah kepada seluruh anggota keluarga, pembantu dan budak. (lihat: Mizanul 'Amal)
Dalam sejarah pemikiran filsafat dan keagamaan Islam, Al-Ghazali menempati kedudukan yang sangat unik, karena pertimbangan kedalaman pengetahuannya, orisinilitas, dan pengaruh pemikirannya. Sehingga ia dijuluki the proof of Islam (hujjat al-Islam), the ornament of faith (zain al-din), dan the renewer of religion (mujaddid). Juga dalam dirinya terkumpul hampir semua jenis pemikiran dari berbagai gerakan intelektual dan keagamaan. Maka, tidaklah mengherankan jika ia terkenal sebagai seorang pakar dalam berbagai disiplin ilmu seperti teologi, fikih, filsafat, dan tasawuf.
Dalam kitabnya Ihya 'Ulumiddin, beliau menjelaskan bahwa mempelajari disiplin ilmu jiwa ini adalah wajib. Sebab dengan menguasai ilmu inilah tercapainya cara-cara pensucian jiwa. "Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu" (QS. 91:9). Sedangkan mengabaikan ilmu ini akan berakhir pada kerugian. "Dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotori jiwanya" (QS. 91:10). Hal ini dikarenakan bahaya penyakit kalbu lebih parah daripada penyakit fisik. Sebab penyakit fisik hanya merenggut kehidupan yang fana, sementara penyakit hati menyebabkan kehancuran pada kehidupan yang abadi. Maka perhatian terhadap kecermatan tentang kaedah-kaedah penyembuhan penyakit kalbu harus lebih diutamakan.
Di samping itu, al-Ghazali menjelaskan bahwa ilmu jiwa pada intinya difokuskan untuk mengarahkan tiga kekuatan dalam diri manusia, yakni
- kekuatan fikir,
- kekuatan syahwat dan
- kekuatan amarah.
Fokus pertama adalah pembinaan kekuatan fikir.
Dan terbinanya potensi fikir membuka manusia meraih hikmah. Dengan hikmah, manusia tidak lagi mencampuradukkan antara keimanan terhadap yang hak dan batil, antara perkataan yang benar dan dusta, antara perbuatan yang terpuji dan tercela, dst. Hikmah juga menjaga akal manusia agar tidak terjerumus kedalam limbah relativisme dan belantara purba sangka dalam berislam.
Yang kedua, fokus ilmu jiwa ditujukan pada pengendlian dan pengarahan kekuatan syahwat.
Dengan terarahnya potensi ini, maka tercapailah kesederhanaan jiwa ('iffah). 'Iffah akan membentengi manusia dari perbuatan maksiat dan senantiasa mendorongnya untuk mendahulukan perilaku yang terpuji. Sedangkan fokus ketiga diarahkan untuk mengendalikan kekuatan amarah hingga tercapainya kesabaran (hilm) dan keberanian (syaja'ah).
Maka keadilan akan bersemai dalam jiwa seseorang, jika dia telah berhasil mengelola ketiga kekuatan di atas.
Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu hanyalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjihad dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah. Mereka itulah orang-orang yang benar. (QS. 49:15)
Keimanan kepada Allah dan Rasul-Nya pada ayat di atas disertai dengan menafikan keraguan. Dan keraguan hanya bisa dinafikan dengan adanya keyakinan ilmu dan hikmah, yang diperoleh dari terarahnya potensi fikir. Berjihad dengan harta terlaksana berkat 'iffah yang lahir dari potensi syahwat yang telah dikendalikan. Sedangkan berjihad (mujahadah), tidak terlaksana kecuali adanya keberanian dan kesabaran yang merupakan buah pengendalian potensi amarah.
Dengan demikian jiwa yang sehat itu menurut imam al-Ghazali, jika ia dihiasi dengan empat induk kesalehan, yakni :
- hikmah,
- kesederhanaan ('iffah),
- keberanian (syaja'ah) dan
- keadilan ('adalah).
Arti Ruh,Nafs dan Akal menurut Imam Al-Ghazali
Ruh
Berbicara tentang Ruh maka tidak bisa dilepaskan dari salah satu faktor pendukung yang tak kalah penting, yaitu Hati.
Dalam hal ini hati mempunya dua makna,
- Pertama adalah hati sebagai salah satu organ tubuh berupa sepotong daging yang terdapat pada tiap – tiap makhluk hidup.
- Kedua adalah makna hati (Qalb, kalbu) sebagai sesuatu yang tak kasat mata (Lathifah), tidak dapat diraba dan bersifat Rabbani ruhani, dia adalah bagian utama dari manusia yang berpotensi mencerap ( memiliki daya tanggap atau persepsi) untuk mengenal dan mengetahui yang di tujukan kepadanya segala pembicaraan dan penilaian, yang di kecam dan yang di mintai pertanggung jawaban, meskipun dua makna hati dia tas berbeda akan tetapi tetap memiliki keterkaintan seperti keterkaitan antara Aradh (sifat yg berubah ubah) dengan Jisim,
- pertama sesuatu yang abstrak yang bersemayam di dalam rongga hati biologis dan mengalir melalui urat –urat serta pembuluh ke seluruh anggota tubuh. Adapun mengalirnya membawa limpahan cahaya kehidupan , perasaan, penglihatan, pendengaran dan penciuman.kedalam semua anggota badan adalah ibarat melimpahnya cahaya dari pelita yang menerangi seluruh ruangan sehingga menjadi terang. Adapun permisalan kehidupan adalah ibarat cahaya di atas dinding rumah, sedangkan ruh ibarat pelita. Maka melimpahnya ruh serta geraknya dalam batin seseorang, sama seperti geraknya pelita di seluruh penjuru rumah akibat gerakan si penggerak.
- Makna kedua bagi “ruh” adalah bagian manusia yang berupa lathifah ( sesuatu yang sangat halus dan lembut, tidak kasat mata dan tidak dapat di raba) yang mempunyai kemampuan untuk mengetahui dan mencerap. Allah berfirman dalam surat Al-isra : 85 “Mereka bertanya ke padamu (Nabi Muhamad) tentang ruh, katakanlah ruh itu adalah urusan khusus tuhanku.
Kata Nafs mengandung beberapa makna ( jiwa, diri, nafsu, sukma, dsb). Namun yang berkaitan dalam pembahasan ini hanya ada dua makna saja ,
pertama yang mencakup emosi atau amarah dan ambisi atau hasrat dalam diri manusia (biasa disebut ‘nafsu”). Makna inilah yang biasa digunakan para ahli tasawuf , karena mereka mengartikan kata nafs sebagai sesuatu sifat yang tercela pada diri manusia. Itulah sebabnya mereka mengharuskan untuk melawan hawa nafsu atau pun mengekangnya.
Makna tersebut juga di isyaratkan oleh nabi Muhamad SAW seperti dalam sabdanya “musuhmu yang terbesar adalah hawa nafsu yang ada dalam dirimu”.
Makna kedua dari Nafs adalah seperti makna hati di atas, yaitu sesuatu yang abstrak yang membentuk diri manusia secara hakiki.
Sehingga dalam hal ini boleh dikatakan bahwa Nafs mempunyai dua makna Yaitu :
- “Hawa nafsu” yang selalu menyuruh kedalam kejahatan dan tindakan tidak terpuji
- Nafs sebagai jati diri manusia yang terpuji karena memiliki potensi untuk mengetahui tentang ALLAh dan segala sesuatu yang lain.
Kata ini juga mengandung beberapa makna, akan tetapi dalam hal ini hanya akan kita bahas dua makna saja
- Pertama adalah “pengetahuan yang berkaitan tentang hakikat segala sesuatu yang bertempat di dalam hati”.
- Kedua adalah “bagian dari manusia yang menyerap kemampuan (sama seperti makna Hati diatas), seperti yang kita ketahui bahwa di dalam dir setiap orang ada semacam wadah untuk menampung pengetahuan, oleh karena itu kata akal kadang juga digunakan untuk menyebutkan tentang sifat yang melekat pada diri seseorang yang berpengetahuan.
Wallahu’alam bi-ash-shawab.
Ref. :
Ilmu Psikologi dalam Pandangan Imam al-Ghazali
Reviewed by Edi Sugianto
on
21.23
Rating:
Tidak ada komentar: