Aku Menciptakan Tuhanku
"TUHAN ITU TIDAK ADA"
Dialog di sebuah barber shop.
Tukang cukur: ”Saya tidak percaya Tuhan itu ada.”
Kiwir: “Kenapa?”
Tukang cukur: “Begini, coba Anda perhatikan di depan sana, di jalanan, untuk menyadari bahwa Tuhan itu tidak ada. Katakan kepadaku, jika Tuhan itu ada, adakah yang sakit? Adakah anak terlantar? Jika Tuhan ada, tidak akan ada sakit atau kesusahan. Saya tidak dapat membayangkan Tuhan Yang Maha Penyayang akan membiarkan ini semua terjadi.”
Kiwir diam. Ia berpikir keras. "Bagaimana caranya agar tidak terjebak dalam debat kusir," pikir Kiwir. Seusai potong rambut itu, Kiwir pergi meninggalkan 'barber shop'.
Beberapa saat kemudian, di jalan Kiwir melihat seorang lelaki berambut panjang, tidak beraturan, kribo gimbal dan kotor. Brewoknya pun semrawut, seperti habis ditimpa puting beliung. Orang itu terlihat dekil dan tidak terawat.
Kiwir buru-buru kembali ke tempat tukang cukur dan berkata, “Kamu tahu, sebenarnya tukang cukur itu tidak ada!”
Tukang cukur tidak terima. Ia protes. ”Kamu kok bisa bilang begitu? Saya disini dan saya tukang cukur. Dan baru saja saya mencukurmu!,” tandasnya
“Tidak!,” elak Kiwir. “Tukang cukur itu tidak ada, sebab jika ada, tidak akan ada orang dengan rambut panjang, gondrong, serta brewokan semrawut seperti orang itu,” kata si Kiwir sambil menunjuk ke arah luar.
“Ah tidak, tapi tukang cukur tetap ada!,” sanggah tukang cukur. ”Apa yang kamu lihat itu adalah salah mereka sendiri, kenapa mereka tidak datang ke saya,” jawab si tukang cukur membela diri.
“Cocok!,” kata Kiwir menyetujui. “Itulah masalahnya. Sama dengan Tuhan, Dia itu ada! Tapi apa yang terjadi? Orang-orang tidak mau datang kepada-Nya, dan tidak mau mencari-Nya. Maka, banyak yang sakit dan tertimpa kesusahan di dunia ini,” katanya.
Tukang cukur itu terdiam seribu bahasa, sambil menundukkan kepalanya, berpikir sejenak dan lanjut mencukur konsumennya. Dan, kemungkinan besar ia sudah percaya pada Tuhan.
Tuhan Yang Diciptakan dan Tuhan Yang Sebenarnya
PADA suatu hari di penghujung 1970-an (saya tidak ingat lagi tahun berapa persisnya) di Direktorat Urusan Agama Hindu dan Buddha, Departemen Agama Republik Indonesia, yang pada waktu itu berlokasi di Jl. M.H. Thamrin, Jakarta, seorang pegawai Direktorat itu yang menganut Buddhisme dan saya sempat berdiskusi secara singkat sekitar konsep tentang Tuhan. Saya memulai diskusi itu dengan mengkritik ketidakjelasan konsep Buddhis tentang Tuhan. Saya mengatakan kepadanya bahwa konsep Buddhis tentang Tuhan tidak jelas. Buku-buku tentang Buddhisme, pada umumnya, tidak memuat uraian dan pembahasan tentang Tuhan. SiddhartaGautama tidak memberikan penjelasan dan doktrin tentang Tuhan. Penolakan Gautama terhadap pembicaraan tentang Tuhan telah “memiskinkan” Buddhisme dalam pembicaraan tentang Tuhan. Buddisme tidak mempunyai konsep yang jelas tentang Tuhan.
Pegawai yang cerdas itu berbalik mengkritik konsep Islam (atau orang-orang Muslim). tentang Tuhan. Ia mengatakan bahwa orang-orang Muslim membuat suatu kesalahan besar dalam memahami Tuhan. Kesalahan itu, menurutnya, terletak pada pemahaman dan kepercayaan orang-orang Muslim bahwa Tuhan adalah “begini” dan “begitu”. Orang-orang Muslim mengatakan bahwa Tuhan mempunyai 20 sifat, atau mempunyai 99 nama. Tuhan adalah Maha Pengasih, Maha Penyayang, Raja, Maha Suci, Pemberi bentuk, Pencipta, Maha Mengetahui, Maha Mendengar, Maha Melihat, dan banyak lagi nama-nama atau sifat-sifat lain. Ini berarti bahwa orang-orang Muslim membuat konsep, ide, atau gagasan tentang Tuhan. Mereka mengungkapkan Tuhan yang tidak terbatas dengan kata-kata dan bahasa manusia yang terbatas. Pegawai itu mengatakan bahwa Tuhan dalam konsep, ide, atau gagasan bukanlah Tuhan yang sebenarnya karena Tuhan yang sebenarnya di luar konsep, ide, atau gagasan. Tuhan seperti itu adalah Tuhan yang diciptakan oleh manusia, bukan Tuhan yang sebenarnya. Tuhan tidak dapat diungkapkan dengan kata-kata dan bahasa. Tuhan adalah misteri yang tidak dapat diketahui, tidak dapat dipahami, dan tidak dapat dipikirkan oleh akal manusia. Karena itu, Tuhan tidak dapat dikatakan “begini” dan “begitu”.
Mendengar kritiknya itu, saya terdiam karena saya tidak dapat membantahnya. Waktu itu saya memang masih menjadi mahasiswa S1 yang sedang merampungkan penulisan skripsi tentang konsep monoteisme dalam agama-agama besar (Yudaisme, Kristen, Islam, Hinduisme, dan Buddhisme), belum menjadi sarjana. Tetapi itu tidak boleh menjadi alasan. Pokoknya, saya tidak berkutik terhadap “pukulan keras” itu. Saya hanya dapat berharap agar saya dapat lebih banyak lagi mempelajari dan memahami persoalan yang saya diskusikan dengan orang itu.
Tulisan yang Anda baca ini ingin mendiskusikan kembali persoalan tersebut. Maka pertanyaan-pertanyaan yang perlu diajukan di sini adalah; Sejauh mana manusia dapat mengetahui Tuhan yang transenden dan absolut itu? Bagaimana pengetahuan manusia yang benar tentang Tuhan? Jika Tuhan tidak dapat dinamai, dibicarakan, dan diungkapkan, bagaimana mungkin manusia dapat mengetahui dan berhubungan dengan-Nya?
A. Tuhan yang Diciptakan
Ibn al-’Arabi (560-638/1165-1240), salah seorang Sufi terbesar, mengkritik orang yang memutlakkan, atau, jika boleh, “menuhankan”, kepercayaannya kepada Tuhan, yang menganggap kepercayaannya itu sebagai satu-satunya yang benar dan menyalahkan kepercayaan orang lain. Orang seperti itu memandang bahwa Tuhan yang dipercayainya itu adalah Tuhan yang sebenarnya, yang berbeda dengan Tuhan yang dipercayai oleh orang lain yang dianggapnya salah. Ibn al-’Arabi menyebut Tuhan yang dipercayai manusia “Tuhan kepercayaan” (ilah al-mu’taqad), “Tuhan yang dipercayai” (al-ilahal-mu’taqad), “Tuhan dalam kepercayaan” (al-ilah fi al-i’tiqad), “Tuhan kepercayaan” (al-haqq al-i’tiqadi), “Tuhan yang dalam kepercayaan” (al-haqq al-ladzi fi al-mu’taqad), dan “Tuhan yang diciptakan dalam kepercayaan” (al-haqq al-makhluq fi al-i’tiqad).
Kata i’tiqad data mu’taqad, yang dalam tulisan ini diterjemahkan dengan “kepercayaan”, berasal dari akar ‘-q-d, yang berarti merajut, membuhul, mengikat; mengikatkan dengan sebuah buhul; memasang, mengumpulkan, menggabungkan, mengunci; mengecilkan, menyempitkan, mengerutkan; mengarahkan, memusatkan; melengkungkan, melekukkan; bertemu, berkumpul; mengadakan pertemuan, mengadakan rapat, mengumpulkan; membuat perjanjian, mengikat kontrak. Kata i’tiqad sendiri, secara literal (harfiah) atau figuratif (majazi), berarti menjadi terikat atau tersusun dengan kuat. Maka i’tiqad, “kepercayaan”, adalah suatu “ikatan” yang diikat dengan kuat dalam kalbu atau pikiran, sebuah keyakinan bahwa sesuatu adalah benar. Bagi Ibn al-’Arabi, “kepercayaan” adalah sebuah (peng)ikatan (binding) dan (pem)batasan (delimitation) Wujud Yang Tak Terbatas, Wujud Absolut (al-wujud al-muthlaq), yang dilakukan oleh dan berlangsung dalam subyek manusiawi.
Kepercayaan seorang hamba kepada Tuhannya ditentukan dan diwarnai oleh kapasitas pengetahuan sang hamba. Kapasitas pengetahuan itu tergantung kepada “kesiapan partikular” (al-isti’dad al-juz’i) masing-masing individu hamba sebagai bentuk penampakan “kesiapan universal” (al-isti’dad al-kulli) atau “kesiapan azali” (al-isti’dad al-azali) yang telah ada sejak azali dalam “entitas-entitas permanen” (al-a’yan al-tsabitah), yang merupakan bentuk penampakan diri (tajalli) al-Haqq (yaitu Tuhan). Tuhan menampakkan diri-Nya kepada hamba-Nya sesuai dengan kesiapan sang hamba untuk mencapai pengetahuan tentang Tuhan yang akhirnya “diikat” atau “dibatasi” oleh dan dalam kepercayaannya sesuai dengan pengetahuan yang dicapainya. Dengan demikian, Tuhan yang diketahui oleh sang hamba adalah identik dengan Tuhan dalam kepercayaannya. Dapat pula dikatakan bahwa Tuhan yang diketahuinya adalah identik dengan kepercayaannya.
Tuhan memberikan kesiapan (al-isti’dad), sesuai dengan firman-Nya, “Dia memberi segala sesuatu ciptaannya” [Q. s.Thaha/20:50]. Maka Dia mengangkat hijab antara Dia dan hamba-Nya. Sang hamba melihat-Nya dalam bentuk kepercayaannya; jadi Tuhan adalah identik dengan kepercayaannya sendiri. Baik kalbu maupun mata tidak pernah melihat sesuatu kecuali bentuk kepercayaannya tentang Tuhan. Tuhan yang ada dalam kepercayaan itu adalah Tuhan yang bentuk-Nya diliputi oleh kalbu; itulah Tuhan yang menampakkan diri-Nya kepada kalbu sehingga Dia dikenal. Maka mata tidak melihat selain Tuhan kepercayaan.163 “Tuhan kepercayaan” adalah gambar atau bentuk Tuhan, atau pemikiran, konsep, ide, atau gagasan tentang Tuhan yang diciptakan oleh akal manusia atau taklidnya. Tuhan seperti itu bukanlah Tuhan sebagaimana Dia sebenarnya, Tuhan pada diri-Nya, Zat-Nya, tetapi adalah Tuhan yang diciptakan oleh manusia sesuai dengan kemampuan, pengetahuan, penangkapan, dan persepsinya. Tuhan seperti itu adalah Tuhan yang “ditempatkan” oleh manusia dalam pemikiran, konsep, ide, atau gagasannya dan “diikat”-nya dalam dan dengan kepercayaannya.
“Bentuk”, “gambar”, atau “wajah” Tuhan seperti itu ditentukan atau diwarnai oleh pengetahuan, penangkapan, dan persepsi manusia yang mempunyai kepercayaan kepada-Nya. Apa yang diketahui diwarnai oleh apa yang mengetahui. Dengan mengutip perkataan al-Junayd, Ibn al-’Arabi berkata: “Warna air adalah warna bejana yang ditempatinya” (Lawn al ma’lawn ina’ihi). Itulah sebabnya mengapa Tuhan melalui sebuah hadits qudsi berkata: “Aku adalah dalam sangkaan hamba-Ku tentang Aku” (Ana ‘inda zhann ‘abdi bi).164 Tuhan disangka, bukan diketahui. Dengan kata lain, Tuhan hanya dalam sangkaan manusia, bukan dalam pengetahuannya. Tuhan tidak diketahui dan tidak dapat diketahui. Menarik untuk memperhatikan lanjutan firman Tuhan dalam hadits qudsi yang dikutip ini, yaitu: “Maka hendaklah ia [sang hamba] bersangka baik tentang Aku” (Fal-yazhunn bi khayran).
Tuhan menyuruh agar kita bersangka baik tentang Dia dalam setiap keadaan dan melarang kita bersangka buruk tentang Dia.165 Kita harus menjadikan sangkaan kita sebagai pengetahuan bahwa Tuhan adalah Maha Pengasih, Maha Penyayang, Maha Penolong, dan Maha Pengampun. Kita tidak bolehbersangka bahwa Tuhan adalah “pengawas yang selalu mencari kesalahan”, “petugas keamanan yang kasar dan galak”, atau “tuan besar yang bengis”. Sangkaan baik tentang Tuhan mendorong kita untuk mendekati dan mencintai-Nya agar kita mendapat rahmat-Nya. Nabi s.a.w. berkata: “Rahmat Tuhan mendahului (mengalahkan) murka-Nya”. Sangkaan buruk tentang Tuhan membuat kita jauh dari-Nya, menyalahkan-Nya, dan akhirnya berputus asa. Tuhan tidak menyenangi orang-orang yang berputus asa.
Kritik Ibn al-’Arabi terhadap orang yang memutlakkan Tuhan dalam kepercayaannya, Tuhan yang diciptakannya dalam kepercayaannya, mengikatkan kita kepada kritik Xenophanes (kira-kira 570-480 SM), seorang filsuf Yunani, terhadap antropomorfisme Tuhan, atau tuhan-tuhan. Kritik tokoh dari Kolophon, Asia Kecil, ini berbunyi sebagai berikut: Seandainya sapi, kuda, dan singa mempunyai tangan dan pandai menggambar seperti manusia, tentu kuda akan menggambarkan tuhan-tuhan menyerupai kuda, sapi akan menggambarkan tuhan-tuhan menyerupai sapi, dan dengan demikian mereka akan mengenakan rupa yang sama kepada tuhan-tuhan seperti terdapat pada mereka sendiri. Orang Etiopia mempunyai tuhan-tuhan hitam dan berhidung pesek, sedangkan orang Trasia mengatakan bahwa tuhan-tuhan mereka bermata biru dan berambut merah.166 Sebagaimana dikatakan di atas, “Tuhan kepercayaan” adalah Tuhan ciptaan manusia. Barangsiapa yang memuji ciptaannya memuji dirinya sendiri.
Ibn al-’Arabi berkata:
Tuhan kepercayaan adalah ciptaan bagi yang mempersepsinya. Dia adalah ciptaannya. Karena itu, pujiannya kepada apa yang dipercayainya adalah pujiannya kepada dirinya sendiri. Itulah sebabnya mengapa ia mencela kepercayaan orang lain. Jika ia menyadari [persoalan yang sebenarnya], tentu ia tidak akan berbuat demikian itu. Tidak diragukan bahwa pemilik obyek penyembahan khusus itu adalah bodoh tentang itu karena penolakannya terhadap apa yang dipercayai oleh orang lain tentang Allah. Jika ia mengetahui apa yang dikatakan oleh al-Junayd, “Warna air adalah warna bejana yang ditempatinya”, ia akan memperkenankan apa yang dipercayai setiap orang yang mempunyai kepercayaan dan mengakui Tuhan dalam setiap bentuk dan dalam setiap kepercayaan.167
Teori Ibn al-’Arabi tentang “Tuhan kepercayaan” didasarkan pula kepada sebuah hadits Nabi s.a.w. tentang penampakan diri Tuhan (tajalli al-haqq) pada hari kiamat.168 Nabi menceritakan bahwa pada hari kiamat, Tuhan akan menampakkan diri-Nya kepada umat manusia dalam berbagai bentuk, yang tiap-tiap bentuk akan ditolak oleh setiap orang yang tidak mengenalnya dan akan diterima oleh setiap orang yang mengenalnya. Akhirnya, semua orang atau kelompok akan menyadari bahwa sebenarnya Tuhan yang menampakkan diri-Nya dalam berbagai bentuk itu adalah satu dan sama; itu juga, tidak lain.
Pandangan Ibn al-’Arabi ini sesuai dengan larangan Nabi s.a.w. agar para sahabatnya tidak menyalahkan seorang awam yang pernah mengatakan kepada beliau di hadapan mereka bahwa Tuhan berada di langit, nun jauh di atas.Para sahabat mempersoalkan kepercayaan orang awam itu karena Tuhan berada di mana saja, tidak terikat oleh ruang dan waktu, dan tidak berbentuk. Tetapi Nabi memandang bahwa “sangkaan” orang awam itu tentang Tuhan sudah memadai baginya. Nabi sendiri pernah berkata: “Kasihilah siapa yang di bumi, niscaya engkau akan dikasihi oleh siapa yang di langit” (Irham man fi al-ardi, yarham-ka man fi al-sama’). Yang dimaksud dengan “siapayang di langit” dalam hadits ini adalah Tuhan. Tuhan berada di langit. Dengan alasan ini, dapat dikatakan bahwa Tuhan dalam kepercayaan Islam adalah “Tuhan Langit” (“the Sky God”), “Tuhan Surgawi”[karena surga berada di langit] (“the Heavenly God”), atau “Wujud Tertinggi Samawi” (“the Celestial Supreme Being”). Langit adalah simbol ketinggian, keagungan, keindahan, dan keabadian. Karena itu, langit dijadikan simbol Tuhan. Simbol bukan menunjukkan dirinya sendiri, tetapi menunjukkan sesuatu yang lain di luar dirinya. Simbol Tuhan bukanlah Tuhan, tetapi menunjukkan Tuhan.
Tuhan dalam kepercayaan Islam adalah seorang “laki-laki”, atau, lebih tepatnya, disimbolkan dengan seorang “laki-laki”. Tuhan dalam kepercayaan Islam, seperti Tuhan dalam kepercayaan-kepercayaan Yahudi dan Kristen, adalah Huwa (“He”), bukan Hiya (“She”). Tuhan dalam kepercayaan Islam selalu dipahami dengan kata-kata maskulin. (Pandangan yang menekankan aspek maskulin Tuhan atau memahami Tuhan sebagai “Tuhan Laki-Laki” seperti ini ditentang oleh teologi feminis radikal yang menekankan aspek feminin Tuhan atau memandang Tuhan sebagai “Tuhan Perempuan”). Dengan demikian, Tuhan dalam kepercayaan Islam, sebagaimana dalam kepercayaan-kepercayaan Yahudi dan Kristen, adalah seorang “person,” seorang “pribadi”. Itulah sebabnya mengapa dikatakan bahwa Tuhan agama-agama monoteistik atau teistik, termasuk Islam, adalah “personal”, “berpribadi”. Tuhan dalam arti ini bukan “impersonal”, bukan “tak-berpribadi”, dan, karena itu, Dia bukan “Itu” (“It”). Pengaruh kebudayaan terhadap bentuk atau tipe kepercayaan kepada Tuhan, terhadap “Tuhan kepercayaan”, dibuktikan oleh sejarah agama agama.
Tuhan dalam kepercayaan orang-orang yang berkebudayaan patriarkal pastoral, yang berkebudayaan perayahan yang hidup dengan menggembala, berbeda dengan Tuhan dalam kepercayaan orang-orang yang berkebudayaan matriarkal agrikultural, yang berkebudayaan peribuan yang hidup dengan bertani. Bapa Samawi atau Bapa Surgawi adalah Tuhan tipikal orang-orang nomad yang hidup dari hasil kawanan ternak mereka; kawanan ternak itu hidup di padang rumput, dan pada gilirannya padang rumput tergantung kepada hujan dari langit. Ibu Bumi atau Ibu Pertiwi adalah Tuhan tipikal para petani yang hidup dari hasil tanah atau bumi.169 Dalam kebudayaan patriarkal pastoral, biasanya bapa dan langit dijadikan sebagai simbol Tuhan. Dalam kebudayaan matriarkal agrikultural, ibu dan bumi sering dijadikan sebagai simbol Tuhan. Agama-agama Semitik lebih cenderung kepada kebudayaan tipe pertama. Bukankah agama-agama Semitik, karena diturunkan dari langit, sering disebut “agama-agama samawi”,”agama-agama langit?” Dalam ketiga agama ini, karena “Tuhan berada di langit”, maka ungkapan-ungkapan simbolis, seperti “turun dari langit”, “naik ke langit”, dan “berada di langit”, lazim digunakan untuk melukiskan peristiwa-peristiwa sakral dan pengalaman-pengalaman spritual.
Sekali lagi, semua deskripsi dan ungkapan ini adalah simbol (yang menunjukkan) Tuhan, bukan Tuhan itu sendiri. Di mata kaum monoteis, kekeliruan kaum politeis terletak pada penuhanan mereka akan simbol-simbol seperti langit, matahari, bulan, dan bumi. Kaum politeis tidak lagi sepenuhnya bertuhan kepada Tuhan, tetapi telah bertuhan kepada simbol-simbol. Di mata Ibn al-’Arabi, orang yang menyalahkan atau mencela kepercayaan-kepercayaan lain tentang Tuhan adalah orang yang bodoh karena Tuhan dalam kepercayaannya sendiri, sebagaimana dalam kepercayaan-kepercayaan yang disalahkannya itu, bukanlah Tuhan sebagaimana Dia sebenarnya, karena Tuhan sebagaimana Dia sebenarnya tidak dapat diketahui. Orang seperti itu mengakui hanya Tuhan dalam bentuk kepercayaannya atau kepercayaan kelompoknya sendiri dan mengingkari Tuhan dalam bentuk-bentuk berbagai kepercayaan lain. Padahal Tuhan yang menampakkan diri-Nya dalam semua bentuk kepercayaan-kepercayaan yang berbeda itu adalah satu dan sama. Kritik Ibn al-’Arabi ini, jika harus konsisten, tertuju kepada setiap orang yang mencela kepercayaan-kepercayaan lain yang berbeda dengan kepercayaannya tentang Tuhan, baik dalam lingkungan orang-orang yang seagama dengannya maupun dalam lingkungan orang-orang yang berbeda agama.
Ibn al-’Arabi memperingatkan kita sebagai berikut:
Maka berhati-hatilah agar anda tidak mengikatkan diri kepada ikatan (‘aqd) [yaitu kepercayaan, doktrin, dogma, atau ajaran] tertentu dan mengingkari ikatan lain yang mana pun, karena dengan demikian itu anda akan kehilangan kebaikan yang banyak; sebenarnya anda akan kehilangan pengetahuan yang benar tentang apa itu yang sebenarnya. Karena itu, hendaklah anda menerima sepenuhnya semua bentuk kepercayaan-kepercayaan,karena Allah Ta’ala terlalu luas dan terlalu besar untuk dibatasi dalam satu ikatan tanpa ikatan lain, Dia berkata: “Kemana pun kamu berpaling, di situ ada wajah Allah”, [Q 2:115] tanpa menyebutkan arah tertentu mana pun.170
Pengetahuan yang benar tentang Tuhan, menurut Sufi dari Andalusia ini, adalah pengetahuan yang tidak terikat oleh bentuk kepercayaan atau agama tertentu. Inilah pengetahuan yang dimiliki oleh “para gnostik” (al-‘arifun). Karena itu, “para gnostik”, yaitu para Sufi, tidak pernah menolak Tuhan dalam kepercayaan, sekte, aliran, atau agama apa pun. Ini berarti bahwa Tuhan, bagi mereka, dalam semua kepercayaan, sekte, aliran, atau agama, adalah satu dan sama. Kata Ibn al-’Arabi, “Barangsiapa yang membebaskan-Nya [yaitu Tuhan] dari pembatasan tidak akan mengingkari-Nya dan mengakui-Nya dalam setiap bentuk tempat Dia mengubah diri-Nya.”171
B. Tuhan Yang Sebenarnya
Tuhan sebagaimana Dia sebenarnya, Tuhan pada diri-Nya, Zat Tuhan, tidak diketahui dan tidak dapat diketahui oleh akal manusia. Tuhan dalam arti ini oleh Ibn al-’Arabi disebut “Tuhan Yang Sebenarnya”, “the Real God” (al-ilah al-haqq) “Tuhan Yang Absolut”, “the Absolute God” (al-ilah al-muthlaq); dan “Tuhan Yang Tidak Diketahui”, “the Unknown God” (al-ilah al-majhul). Tuhan dalam arti ini adalah munazzah (tidak dapat dibandingkan [dengan alam], sama sekali berbeda dengan alam, transenden terhadap alam. “Tidak sesuatu pun serupa dengan-Nya” (Q., s. al-Syura/42:11). “Penglihatan tidak dapat mempersepsi-Nya, tetapi Dia mempersepsi semua penglihatan” (Q., s. al-An’am/6: 103). Itulah Tuhan yang tidak bisa dipahami dan dihampiri secara absolut, yang sering disebut Dzat Tuhan. Itulah Yang Absolut dalam keabsolutan-Nya yang terlepas dari semua sifat dan relasi yang dapat dipahami manusia. Dia adalah “yang paling tidak tentu dari semua yang tidak tentu”, “yang palingtidak diketahui dari semua yang tidak diketahui” (ankar al-nakirat). Dia adalah selama-lamanya suatu misteri, yang oleh Ibn al-’Arabi disebut “Misteri Yang Absolut” (al-ghayb al-muthlaq) atau “Misteri Yang Paling Suci” (al-ghayb al-aqdas). Dilihat dari sudut penampakan diri (tajalli) Tuhan, dikatakan bahwa Yang Absolut dalam keabsolutan-Nya adalah pada tingkat “keesaan” (ahadiyah).
Karena Tuhan, yaitu Dzat Tuhan, tidak dapat diketahui oleh siapa pun, maka Nabi s.a.w. melarang orang-orang beriman untuk memikirkan Tuhan. Beliau bersabda: “Berpikirlah, tentang ciptaan Allah, tetapi jangan berpikir tentang Dzat Allah.” Hadits ini cukup terkenal di kalangan orang-orang yang mempelajari ilmu tawhid. Larangan ini diperkuat oleh Ibn al-’Arabi dengan firman Tuhan yang berbunyi: “Allah memperingatkan kamu tentang diri-Nya” (Q., s. Alu ‘Imran/3:28). Ibn al-’Arabi menegaskan sebagai berikut: Berpikir (fikr) tidak mempunyai hukum dan daerah kekuasaan dalam [mengetahui, atau memahami] Zat al-Haqq, baik secara rasional maupun menurut Syara’. Syara’ telah melarang berpikir tentang Zat Allah. Inilah yang disinggung oleh firman-Nya, “Allah memperingatkan kamu tentang diri-Nya,” [Q., s. Alu 'Imran/3: 28] yaitu “Jangan kamu berpikir tentang-Nya [Zat-Nya)!" Larangan ini ditetapkan karena tidak ada hubungan antara Zat al-Haqq dan zat al-khalq.172 Dari segi diri-Nya, Zat Tuhan tidak mempunyai nama, karena Dzat itu bukanlah lokus efek dan bukan pula diketahui oleh siapa pun. Tidak ada nama yang menunjukkannya yang terlepas dari hubungan dan bukan pula dengan pengukuhan. Nama-nama berfungsi untuk pemberitahuan dan pembedaan, tetapi pintu [untuk mengetahui Zat Tuhan] dilarang bagi siapa pun selain Allah, karena tidak ada yang mengetahui Allah kecuali Allah.173
Ibn al-’Arabi mengecam orang-orang yang melanggar larangan berpikir tentang Zat Tuhan dan menuduh mereka telah menambah kesalahan dengan al-khawdl (melakukan upaya spekulasi besar-besaran dan serampangan). Ia memandang bahwa upaya mereka itu adalah sia-sia.
Pandangan bahwa Tuhan tidak dapat diketahui ditemukan pula dalam Bibel. Salah satu bagian Kitab Suci ini mengatakan bahwa Tuhan, meskipun hadir dalam alam dan manusia, adalah misteri yang tidak dapat dipahami oleh akal manusia. Ketika Nabi Musa berada di Gunung Sinai, ia melihat dan menyaksikan dalam semak-semak yang menyala (tetapi tidak dimakan api) Kehadiran Tuhan yang memerintahkannya untuk menghadapi Fir’awn dan membebaskan bangsa Israel dari raja yang zalim itu. Lalu, Musa bertanya kepada Tuhan tentang nama-Nya untuk mengetahui siapa diri-Nya, Tuhan menjawab:
“Ehyeh asyer Ehyeh” (Keluaran 3:14). Terjemahan yang biasa dari ungkapan Ehyeh asyer Ehyeh adalah “Aku adalah Aku” (“I am that I am”) atau “Aku akan jadi Aku” (“I will be that I will be”). Leo Schaya, seorang sarjana terkemuka tentang Kabbalisme (mistisisme Yahudi), menafsirkan bahwa Kehadiran Zat yang esa itu menyatakan diri-Nya kepada Musa sebagai Ehyeh, “Wujud (‘Being’) yang esa dan universal,” sebagai “Wujud yang adalah Wujud” (“Being that is Being’ (Ehyeh asyer Ehyeh), di luar dan di dalam seluruh eksistensi. Tetapi Ia juga menyatakan kepadanya [yaitu Musa] bahwa Ia bukan hanya Zat dan Prinsip eksistensi, tetapi secara serentak tetap dalam keadaan pada diri-Nya, dalam Supra-Wujud atau Bukan-Wujud Nya –yang dalam Kabbalah disebut Ain, “Ketiadaan” ilahi (the divine “Nothingness”).174
Kaum Kabbalis, dalam keinginan besar mereka untuk menekankan ketakterpahaman (incomprehensibilty) Tuhan pergi begitu jauh sehingga mereka berbicara tentang Tuhan sebagai ‘Ayn –”Dia Yang Bukanlah”, “Dia Yang adalah Bukan” (“He Who is Not”)– yaitu untuk mengatakan bahwa sesungguhnya orang tidak dapat mengatakan bahwa Tuhan ada [dan tentu pula sebaliknya tidak dapat mengatakan bahwa Tuhan tidak ada], karena mengatakan demikian adalah juga suatu deskripsi tentang yang tidak dapat dideskripsikan.175
Jawaban Tuhan tersebut, Ehyeh asyer Ehyeh, menunjukkan bahwa diri-Nya tidak dapat dipahami oleh akal manusia. Karena itu, Musa diperingatkan oleh Tuhan agar tidak bertanya tentang diri-Nya, Dzat-Nya.
Yang diketahui oleh manusia adalah perbuatan-perbuatan atau karya-karya Tuhan, bukan Tuhan itu sendiri. Ini berarti bahwa Tuhan hanya bisa diketahui melalui perbuatan-perbuatan-Nya, tidak pernah diketahui sebagai Dia pada diri-Nya. Ketika Musa memohon kepada Tuhan agar memperlihatkan kemuliaanNya, Dia berfirman: “Engkau tidak akan bisa memandang wajah-Ku, karena tidak ada orang yang bisa memandang wajah-Ku dan bisa hidup.” Tuhan berfirman: “Ada suatu tempat dekat-Ku, tempat engkau dapat berdiri di atas batu. Apabila kemuliaanKu lewat, maka Aku akan menempatkan engkau dalam lekuk batu itu dan Aku akan menutupi engkau dengan tangan-Ku sehingga Aku lewat. Lalu, Aku akan menarik tangan-Ku, dan engkau akan melihat belakang-Ku, tetapi wajah-Ku tidak akan terlihat” (Keluaran 33:20-23). Dalam Perjanjian Baru, tradisi mistis ini, meskipun tidak begitu tegas, mempunyai akar yang dapat tumbuh dengan subur dan kuat. St. Yohanes mengatakan: “Tidak seorang pun melihat Tuhan kapan saja” (Yohanes 1:18). Surat Paulus kepada Timotius membicarakan Tuhan “yang bersemayam dalam cahaya yang tak terhampiri. Tidak seorang pun pernah melihat-Nya; dan memang tidak seorang pun bisa pernah melihat-Nya” (1 Timotius 6:16). Ungkapan Paulus kepada Timotius ini, yang ditemukan menjelang akhir periode Perjanjian Baru dan menunjukkan pengaruh pemikiran Yunani, seperti dikatakan Bede Griffiths,menyatakan transendensi absolut Ketuhanan (Godhead). Ini telah dikembangkan oleh para bapa Yunani dalam konteks konsep tentang ketakterpahaman (incomprhensibility) Tuhan.176
Pandangan yang menekankan penegasian pengetahuan tentang Tuhan dikenal dalam, bahkan sangat akrab dengan, tradisi-tradisi keagamaan Timur, seperti Hinduisme dan Taoisme. Upanisad, Kitab Suci Hindu, mengatakan: Dia yang tidak terlihat oleh mata, yang tidak terucapkan oleh lidah, dan yang tidak tertangkap oleh pikiran. Dia yang tidak kita ketahui, juga yang tidak mampu kita ajari. Berbedalah Dia dengan yang diketahui, dan berbedalah Dia dengan yang tidak diketahui. Demikian kita ketahui dari sang bijak. Yang tidak dapat diungkapkan dengan kata-kata tetapi dengan-Nya lidah berbicara ketahuilah itu adalah Brahman. Brahman bukanlah wujud yang disembah manusia. Yang tidak dipahami oleh pikiran tetapi dengan-Nya pikiran memahami –ketahuilah itu adalah Brahman. Brahman bukanlah wujud yang disembah manusia. Yang tidak dilihat oleh mata tetapi dengan-Nya mata melihat –ketahuilah itu adalah Brahman. Brahman bukanlah wujud yang disembah manusia. Yang tidak didengar oleh telinga tetapi dengan-Nya telinga mendengar –ketahuilah itu adalah Brahman. Brahman bukanlah wujud yang disembah manusia. Yang tidak ditarik oleh nafas tetapi dengan-Nya nafas ditarik –ketahuilah itu adalah Brahman. Brahman bukanlah wujud yang disembah manusia. Jika engkau mengira bahwa engkau mengetahui dengan baik kebenaran Brahman, ketahuilah bahwa engkau mengetahui [hanya] sedikit. Apa yang anda kira sebagai Brahman pada diri anda, atau apa yang anda kira sebagai Brahman dalam tuhan-tuhan [atau dewa-dewa] –itu bukanlah Brahman” (Kena Upanisad). Karena Brahman tidak dapat diungkapkan oleh apa pun dan selalu di luar kata-kata dan di luar pemikiran, maka Brihadaranyaka Upanisad mengatakan bahwa Brahman mustahil dibicarakan. Brahman adalah “bukan ini, bukan ini”, “bukan ini, bukan itu” (“neti, neti”). Brahman tidak dapat dikatakan bagaimana, tidak bersifat (“nirguna”). Karena itu,Brahman pada tingkat ini disebut “nirguna Brahman”. Pada tingkat ini Dia adalah Yang Absolut dalam keabsolutan-Nya.
Prolog Tao Te Ching, Kitab Suci Taois, yang biasanya dianggap ditulis oleh Lao-Tze, dibuka dengan kata-kata: “Tao yang dapat dibicarakan bukanlah Tao yang sebenarnya atau kekal. Nama-nama yang dapat disebutkan bukanlah nama yang sebenarnya atau kekal” (Tao Te Ching 1:1). Chuang-Tze, penulis Cina abad keempat SM, dengan nada yang sama mengatakan: Tao Yang Agung tidak dinamai/dinamakan; Diskriminasi-diskriminasi Yang Agung tidak dibicarakan; Kemurahan Hati Yang Agung bukanlah murah hati; Kerendahan Hati Yang Agung bukanlah rendah hati; Keberanian Yang Agung bukanlah menyerang; Jika Tao dijelaskan, itu bukanlah Tao.(Chuang-Tze, Bab 2)
Kutipan-kutipan ini menunjukkan bahwa Tao tidak dapat diungkapkan dan dijelaskan dengan kata-kata; Ia adalah di luar bahasa. Itulah Tao yang sebenarnya, yang merupakan Yang Absolut dalam keabsolutan-Nya. Yang Absolut itu oleh Laot-Tze disebut “Misteri di belakang segala misteri” (“hsuan chih yu hsuan”) dan oleh Chuang-Tze disebut “Tiada-Tiada-Tiada-Apa-apa”, “No-No-Nothing”, atau “Bukan-Bukan-Bukan-Wujud”, “Non-Non-Non-Being” (“wu-wu-wu”). “Tiada-Tiada-Tiada-Apa-apa” adalah Tao atau “Tiada-Apa-apa metafisis yang bukan suatu ‘tiada-apa-apa’ yang sederhana, tetapi suatu TiadaApa-apa yang berada di seberang ‘wujud’ dan ‘bukan-wujud’ sebagaimana biasanya dipahami”.177 Yang Absolut dalam kebsolutan-Nya seperti ini dalam Sufisme Ibn al-’Arabi disebut “Misteri Yang Absolut” dan “Misteri Yang Paling Suci”, dalam mistisisme Kristen disebut “Ketuhanan”, dan dalam tradisi Hindu disebut “nirguna Brahman”.
C. Teologi Apofatik
Dalam konteks ini, salah satu persoalan teologis-mistis yang selalu menggoda untuk dijawab adalah cara mendekati dan mencintai Tuhan. Bagaimana mungkin kita dapat mendekati dan mencintai Tuhan yang tidak diketahui? Bagaimana mungkin Tuhan yang sama sekali berbeda dengan alam dan manusia dapat hadir dalam alam dan manusia? Bagimana mungkin Tuhan yang transenden terhadap alam dan manusia adalah immanen dalam alam dan manusia?
Menurut Thomas Merton (1915-1968), seorang teolog dan mistikus Katolik Roma berkebangsaan Amerika, para teolog mistis menghadapi persoalan ini sebagai persoalan “mengatakan apa yang sesungguhnya tidak dapat dikatakan” (“saying what cannot really be said”).178 Persoalan ini dapat pula dideskripsikan dengan ungkapan-ungkapan paradoksikal lain, seperti membicarakan yang tidak dapat dibicarakan” (“speaking of the unspeakable”),179 “mengetahui Tuhan Yang Tidak Dapat Diketahui” (“knowing the Unknowable God”),180 “menamai yang tidak dapat dinamai,” “menamakan apa yang tidak dapat dinamakan” (“naming the unnamable”),181 “mengungkapkan yang tidak dapat diungkapkan” (“expressing the inexpressible”),182 “memikirkan yang tidak dapat dipikirkan” (“thinking of the unthinkable”), “memahami yang tidak dapat dipahami” (“comprehending the incomprehensible”), “membayangkan yang tidak dapat dibayangkan” (“conceiving the unconceivable”), dan “melukiskan yang tidak dapat dilukiskan” (“describing the indescribable”).
Salah satu cara terbaik untuk memecahkan persoalan ini adalah dengan suatu teologi yang disebut “teologi apofatik” (“apophatic theology”), teologi “tidak mengetahui” (the theology of “unknowing”), yang melukiskan pengalaman transenden tentang Tuhan dalam cinta sebagai suatu “mengetahui dengan tidak mengetahui” (“knowing by unknowing”) dan suatu “melihat yang bukan melihat” (“seeing that is not seeing”).183
Seorang mistikus dan penulis spiritual Inggris abad keempatbelas, penulis anonim The Cloud of Unknowing, adalah salah satu contoh terbaik wakil teologi apofatik karena kecenderungan teologinya itu menekankan bahwa Tuhan paling baik diketahui dengan penegasian: “kita dapat mengetahui lebih banyak tentang apa yang bukan Tuhan ketimbang tentang apa yang adalah Dia” (“we can know much more about what God is not than about what He is”).184 Penulis The Cloud of Unknowing itu dengan konstan menggunakan tema paradoksikal “mengetahui” dan “tidak mengetahui.”Menjelang bagian akhir karyanya itu, ia menegaskan intisari pandangan apofatiknya dengan mengutip kata-kata Dionysius orang Areopagus (St.Denis), “Dan karena itu St. Denis berkata, ‘Mengetahui yang paling saleh[paling tinggi] akan Tuhan adalah [mengetahui] yang dikenal dengan tidak mengetahui’” (“And therefore St. Denis said ‘The most godly knowing of God is that which is known by unknowing’”).185
William Johnston, seorang Yesuit, memberikan sebuah komentar yang menarik tentang tema paradoksikal ini. Ia berkata: “Kita mengetahui Tuhan, namun tidak mengetahui-Nya; kita mengetahui-Nya dengan tidak mengetahui; kita mengetahui-Nya dalam kegelapan; kita mengetahui-Nya dengan cinta”.186 Bagi penulis The Cloud of the Unknowing, Tuhan dapat dicintai, tetapi tidak dapat dipikirkan. Meskipun jiwa manusia tidak dapat menembus misteri Tuhan dengan pemahaman rasional, ia dapat bersatu dengan-Nya dengan cinta. “Karena mengapa, Dia [yaitu Tuhan] dapat dicintai dengan baik, tetapi tidak dapat dipikirkan. Dengan cinta Dia dapat dicapai dan dipegang, tetapi dengan pikiran tidak”.187 Menurut mistikus Inggris anonim ini, jika sang hamba mengosongkan pikirannya dari segala sesuatu dan segala gambaran, akan tumbuh dalam kalbunya “getaran buta dari cinta” (“the blind stirring of love”) yang menembus “awan tidak mengetahui”, “awan ketidaktahuan” (“The Cloud of Unknowing”), yang membawa sang hamba kepada suatu pengetahuan yang suprakonsepsual dan gelap; itulah kebijakan tertinggi.
Penulis The Cloud of Unknowing sangat dipengaruhi oleh Diosynisius orang Areopagus, yang menurut penelitian belakangan adalah seorang rahib Siria yang hidup pada ujung abad kelima dan permulaan abad keenam Masehi. Dionysius memandang bahwa pengetahuan rasional tentang Tuhan, baik dengan cara afirmatif maupun dengan cara negatif (meskipun yang terakhir ini ditekankannya karena ia menegaskan transendensi Tuhan), tidak memadai. Ia memilih pengetahuan mistis, yang menurut pandangannya lebih tinggi dari pengetahuan rasional yang diperoleh melalui spekulasi teologis dan filosofis dengan menggunakan akal. Pengetahuan mistis adalah pengetahuan yang diperoleh sebagai anugerah dari Tuhan. Pengetahuan mistis seperti ini tidak ditemukan dalam buku-buku, tidak juga diperoleh dengan usaha manusia, karena ia adalah suatu pemberian ilahi. Bagaimana pun, manusia dapat mempersiapkan diri menerimanya dengan doa dan penyucian.
Karena indera dan intelek manusia tidak mampu mencapai Tuhan, indera dan intelek harus “dikosongkan” dari semua makhluk dan disucikan supaya Tuhan dapat menuangkan cahaya-Nya ke dalam indera dan intelek itu. Dalam arti ini, indera dan intelek berada dalam kegelapan sempurna dalam hubungan dengan segala ciptaan tetapi pada saat yang sama dipenuhi dengan cahaya dari Tuhan. Karena itu, dapat dikatakan bahwa “Kegelapan Ilahi” (the “Divine Darkness’) adalah cahaya yang tidak dapat dihampiri yang dikatakan di dalamnya Tuhan bersemayam”. Ketika semua daya dikosongkan dari semua pengetahuan manusiawi, maka berkuasalah dalam jiwa suatu “keheningan mistik” (“mystic silence”) yang membawanya kepada klimaks, yaitu kesatuan dengan Tuhan dan visi tentang Dia sebagai Dia pada diri-Nya”.188 Pengetahuan seperti ini adalah pengetahuan ilahi tentang Tuhan yang berlangsung dengan “tidak mengetahui” (“unknowing”) atau “ketidaktahuan” (“ignorance”), yang berarti bahwa sang hamba harus mencampakkan pengetahuan konsepsual manusiawi untuk menerima pengetahuan anugerah ilahi.
Bagi Dionysius, satu-satunya jalan mengetahui Tuhan adalah dengan “tidak mengetahui”, dengan menyeberang di luar konsep, di luar pikiran rasional dan dengan menerima suatu sinar “kegelapan ilahi”. Mistikus ini menyerukan agar sang pencari Tuhan melepaskan diri dari persepsi, imaginasi, dugaan, nama, pembahasan, pemahaman, pemikiran, dan segala sesuatu yang membelenggu dan menjauhkannya dari jalan menuju Tuhan, agar sang pencari memasuki “kegelapan ilahi” yang melebihi segala sesuatu dan “mengetahui dengan tidak mengetahui”.
Teologi apofatik Dionysius ini menjadi dasar mistisisme apofatik Kristen di kemudian hari. Pengaruh mistikus ini dapat ditemukan, misalnya, pada Maximus Sang “Confessor”, Yohanes Scotus Erigena, Thomas Aquinas, Bonaventura, Dante, dan Penulis The Cloud of Unknowing.
Bagaimana tradisi mistis Yahudi memecahkan persoalan teologis yang rumit ini? Kaum Kabbalis, seperti dikemukan di atas, memandang bahwa Tuhan adalah rahasia yang tidak dapat dipahami oleh manusia. Namun, roh manusia, atau wujud rohani manusia, mampu membenamkan dirinya dalam jurang yang dalam sekali tanpa alas dari “Ketiadaan” ilahi. Ketika Musa melihat Kehadiran Tuhan di Gunung Sinai, ia mencapai pengalaman rohani seperti itu; “ketika ia naik selangkah demi selangkah sehingga masuk ke dalam kegelapan awan Tuhan”.189 Ketika itu Musa menutup matanya kepada semua pengetahuan positif, menyingkirkan semua pikiran dan penglihatan, karena ia sepenuhnya milik Dia yang tidak terjangkau oleh pikiran dan penglihatan, sehingga ia bersatu dengan Dia yang tidak dapat ditangkap oleh pengetahuan. Itulah yang oleh kaum Kabbalis disebut bittul ha-yesy,”kemusnahan eksistensi” dalam Ain, “Ketiadaan” ilahi, yang berarti kemusnahan pikiran manusiawi dan “kontemplasi tentang Ketiadaan”190 Pengalaman spiritual seperti itu tidak dapat diperoleh melalui pikiran, tetapi diperoleh melalui pertolongan Tuhan. Agar pertolongan itu diperoleh, seseorang harus memusnahkan pikiran dan pada saat yang sama harus melakukan kontemplasi tentang Ketiadaan.
Bahasa apofatisme yang jauh lebih tua dapat ditemukan dalam Upanisad. Suatu bagian Kitab Suci ini berbunyi: “Orang yang dengan benar mengetahui Brahman adalah orang yang mengetahui-Nya sebagai di luar pengetahuan; orang yang mengira bahwa ia mengetahui[-Nya], tidak mengetahui. Orang bodoh mengira bahwa Brahman diketahui, tetapi orang bijak mengetahui-Nya di seberang pengetahuan” (Kena). Ini berarti bahwa pengetahuan yang benar tentang Tuhan adalah pengetahuan negatif: “mengetahui Tuhan dengan tidak mengetahui-Nya.”
Menurut Ibn al-’Arabi, pengetahuan tentang Tuhan sebagaimana Dia sebenarnya, Tuhan pada diri-Nya, Zat Tuhan, harus diperoleh dengan “peniadaan pengetahuan”. Ini berarti bahwa mengetahui Tuhan dengan tidak mengetahui-Nya; pengetahuan positif tentang Tuhan adalah mustahil. Ia berkata: “Orang yang tidak mempunyai pengetahuan membayangkan bahwa ia mengetahui Tuhan, itu tidak betul”, karena “pengetahuan kita tentang Tuhan adalah mustahil”. “Orang yang mengetahui Tuhan tidak melampaui batas tingkatnya sendiri. Ia mengetahui apa yang ia ketahui bahwa ia adalah salah seorang di antara orang-orang yang tidak mengetahui”.191
Dengan berkali-kali mengutip perkataan Abu Bakr r.a., Ibn al-’Arabi berkata: “Ketidakmampuan mencapai persepsi adalah persepsi” ["Ketidakmampuan mencapai pengetahuan adalah pengetahuan"] (Al-’ajz ‘an dark al-idrak idrak).192 Ungkapan ini melukiskan tingkat tertinggi pengetahuan manusia tentang Tuhan dan segala sesuatu yang gaib yang tidak dapat diketahuinya. Orang yang mengetahui bahwa ia tidak dapat mengetahui Tuhan adalah orang yang secara benar mengetahui-Nya; itulah orang yang bijak. Orang yang menganggap bahwa ia mengetahui Tuhan adalah orang yang tidak mengetahui-Nya; itulah orang yang bodoh. Bukankah Tuhan telah berfirman: “Penglihatan tidak dapat mempersepsi-Nya [yaitu Tuhan],tetapi Dia mempersepsi semua penglihatan” (Q., s: al-An’am/6:103)?
D. Catatan Akhir
Teologi apofatik menegaskan kemustahilan pengetahuan manusia tentang Tuhan sebagaimana Dia pada diri-Nya, Tuhan yang sebenarnya. Pengetahuan yang benar dan tertinggi tentang Tuhan adalah pengetahuan dengan “tidak mengetahui” atau “ketidaktahuan” karena Tuhan di luar jangkauan pengetahuan manusia dan tidak dapat diungkapkan dengan kata-kata dan bahasa manusia. Pengetahuan seperti ini tidak dapat diperoleh dengan -pikiran, tetapi adalah pemberian Tuhan kepada hamba-Nya yang telah mempersiapkan diri untuk menerimanya dengan doa dan penyucian. Seperti disebut di atas, penulis The Cloud of Unknowing mengatakan bahwa Tuhan dapat dicintai, tetapi tidak dapat dipikirkan. Dengan cinta Tuhan dapat dihampiri dan dipegang, tetapi dengan pikiran tidak. Tuhan bukan untuk dipikirkan dengan akal, tetapi untuk dicintai dan “dirasakan” dengan Kalbu (qalb).
Semua orang yang percaya kepada Tuhan tentu saja ingin mencintai Tuhan. Cinta seorang hamba kepada Tuhan pasti dibalas. Tuhan mencintai hamba yang mencintai-Nya. Jika sang hamba mencintai Tuhan, ia harus mengikuti Tuhan dan panutan yang diutus-Nya. Tuhan berfirman: “Katakanlah: ‘Jikak-amu benar-benar mencintai Allah, ikutilah aku, nicaya Allah mencintaimu dan mengampuni dosa-dosamu’. Allah adalah Maha Pengampun dan Maha Penyayang.” (Q. s. Alu ‘Imran/3:31). “Aku menunjukkan cinta-Ku kepada beribu-ribu generasi, yaitu orang-orang yang mencintai-Ku dan mematuhi hukum-hukum-Ku.” (Keluaran 20:6). Yesus menyerukan: “Jika kamu menurutiperintah-perintahku, kamu akan tetap dalam cintaku, seperti aku menuruti perintah-perintah Bapaku dan tetap dalam cinta-Nya” (Yohanes 15:10).
Cinta vertikal antara sang hamba dan Tuhannya tidak akan terwujud jika tidak disertai dengan cinta horisontal antara sang hamba dan sesamanya. Seperti disebutkan di atas, Nabi berkata: “Kasihilah siapa yang di bumi,niscaya engkau akan dikasihi oleh siapa yang di langit”. Pada kesempatan lain beliau berkata: “Tidaklah beriman salah seorang di antara kamu hingga dia mencintai saudaranya seperti mencintai dirinya sendiri”. Yesus membenarkan perkataan seorang ahli Taurat: “Cintailah tetanggamu seperti mencintai dirimu sendiri.” (Lukas 10: 27).
Teologi apofatik, atau mistisisme apofatik, adalah suatu cara berpikir atau aktivitas mental yang digunakan oleh banyak mistikus atau Sufi untuk menempuh perjalanan menuju Tuhan dan sekaligus untuk menyuarakan protes keras terhadap kelancangan dan keangkuhan para teolog dan para filsuf yang menganggap bahwa mereka mempunyai konsep, ide, atau gagasan tentang Tuhan sebagaimana Dia pada diri-Nya. Teologi apofatik adalah peringatan bagi orang yang mereduksi Tuhan menjadi sesuatu yang rasional belaka. Teologi apofatik menunjukkan bahwa orang yang memandang bahwa dengan nalarnya ia mempunyai pengetahuan yang memadai tentang Tuhan adalah orang yang membatasi Tuhan dalam bentuk khusus menurut pengertian yang ditentukan oleh akalnya. Padahal Tuhan tidak dapat dibatasi. Bentuk Tuhan yang ditangkapnya adalah bentuk yang dicocokkan dengan “kotak” akalnya. Ia menolak bentuk Tuhan yang tidak cocok dengan bentuk dan ukuran “kotak” akalnya. Ia menyalahkan orang lain yang mempercayai Tuhan dalam bentuk lain. Ia tidak menerima apa pun sebagai kebenaran jika bertentangan dengan akalnya. Ia telah mempertuhankan akalnya. Orang seperti ini, kata Ibn al-’Arabi, adalah “hamba nalar” (‘abd nazhar), bukan “hamba Rabb” (‘abd rabb).
Wallahu a'lam....
oleh Kautsar Azhari Noer
Ketua Jurusan Perbandingan Agama, IAIN Jakarta,Pemimpin Redaksi Jurnal Pemikiran Islam Paramadina
Dialog di sebuah barber shop.
Tukang cukur: ”Saya tidak percaya Tuhan itu ada.”
Kiwir: “Kenapa?”
Tukang cukur: “Begini, coba Anda perhatikan di depan sana, di jalanan, untuk menyadari bahwa Tuhan itu tidak ada. Katakan kepadaku, jika Tuhan itu ada, adakah yang sakit? Adakah anak terlantar? Jika Tuhan ada, tidak akan ada sakit atau kesusahan. Saya tidak dapat membayangkan Tuhan Yang Maha Penyayang akan membiarkan ini semua terjadi.”
Kiwir diam. Ia berpikir keras. "Bagaimana caranya agar tidak terjebak dalam debat kusir," pikir Kiwir. Seusai potong rambut itu, Kiwir pergi meninggalkan 'barber shop'.
Beberapa saat kemudian, di jalan Kiwir melihat seorang lelaki berambut panjang, tidak beraturan, kribo gimbal dan kotor. Brewoknya pun semrawut, seperti habis ditimpa puting beliung. Orang itu terlihat dekil dan tidak terawat.
Kiwir buru-buru kembali ke tempat tukang cukur dan berkata, “Kamu tahu, sebenarnya tukang cukur itu tidak ada!”
Tukang cukur tidak terima. Ia protes. ”Kamu kok bisa bilang begitu? Saya disini dan saya tukang cukur. Dan baru saja saya mencukurmu!,” tandasnya
“Tidak!,” elak Kiwir. “Tukang cukur itu tidak ada, sebab jika ada, tidak akan ada orang dengan rambut panjang, gondrong, serta brewokan semrawut seperti orang itu,” kata si Kiwir sambil menunjuk ke arah luar.
“Ah tidak, tapi tukang cukur tetap ada!,” sanggah tukang cukur. ”Apa yang kamu lihat itu adalah salah mereka sendiri, kenapa mereka tidak datang ke saya,” jawab si tukang cukur membela diri.
“Cocok!,” kata Kiwir menyetujui. “Itulah masalahnya. Sama dengan Tuhan, Dia itu ada! Tapi apa yang terjadi? Orang-orang tidak mau datang kepada-Nya, dan tidak mau mencari-Nya. Maka, banyak yang sakit dan tertimpa kesusahan di dunia ini,” katanya.
Tukang cukur itu terdiam seribu bahasa, sambil menundukkan kepalanya, berpikir sejenak dan lanjut mencukur konsumennya. Dan, kemungkinan besar ia sudah percaya pada Tuhan.
Tuhan Yang Diciptakan dan Tuhan Yang Sebenarnya
PADA suatu hari di penghujung 1970-an (saya tidak ingat lagi tahun berapa persisnya) di Direktorat Urusan Agama Hindu dan Buddha, Departemen Agama Republik Indonesia, yang pada waktu itu berlokasi di Jl. M.H. Thamrin, Jakarta, seorang pegawai Direktorat itu yang menganut Buddhisme dan saya sempat berdiskusi secara singkat sekitar konsep tentang Tuhan. Saya memulai diskusi itu dengan mengkritik ketidakjelasan konsep Buddhis tentang Tuhan. Saya mengatakan kepadanya bahwa konsep Buddhis tentang Tuhan tidak jelas. Buku-buku tentang Buddhisme, pada umumnya, tidak memuat uraian dan pembahasan tentang Tuhan. SiddhartaGautama tidak memberikan penjelasan dan doktrin tentang Tuhan. Penolakan Gautama terhadap pembicaraan tentang Tuhan telah “memiskinkan” Buddhisme dalam pembicaraan tentang Tuhan. Buddisme tidak mempunyai konsep yang jelas tentang Tuhan.
Pegawai yang cerdas itu berbalik mengkritik konsep Islam (atau orang-orang Muslim). tentang Tuhan. Ia mengatakan bahwa orang-orang Muslim membuat suatu kesalahan besar dalam memahami Tuhan. Kesalahan itu, menurutnya, terletak pada pemahaman dan kepercayaan orang-orang Muslim bahwa Tuhan adalah “begini” dan “begitu”. Orang-orang Muslim mengatakan bahwa Tuhan mempunyai 20 sifat, atau mempunyai 99 nama. Tuhan adalah Maha Pengasih, Maha Penyayang, Raja, Maha Suci, Pemberi bentuk, Pencipta, Maha Mengetahui, Maha Mendengar, Maha Melihat, dan banyak lagi nama-nama atau sifat-sifat lain. Ini berarti bahwa orang-orang Muslim membuat konsep, ide, atau gagasan tentang Tuhan. Mereka mengungkapkan Tuhan yang tidak terbatas dengan kata-kata dan bahasa manusia yang terbatas. Pegawai itu mengatakan bahwa Tuhan dalam konsep, ide, atau gagasan bukanlah Tuhan yang sebenarnya karena Tuhan yang sebenarnya di luar konsep, ide, atau gagasan. Tuhan seperti itu adalah Tuhan yang diciptakan oleh manusia, bukan Tuhan yang sebenarnya. Tuhan tidak dapat diungkapkan dengan kata-kata dan bahasa. Tuhan adalah misteri yang tidak dapat diketahui, tidak dapat dipahami, dan tidak dapat dipikirkan oleh akal manusia. Karena itu, Tuhan tidak dapat dikatakan “begini” dan “begitu”.
Mendengar kritiknya itu, saya terdiam karena saya tidak dapat membantahnya. Waktu itu saya memang masih menjadi mahasiswa S1 yang sedang merampungkan penulisan skripsi tentang konsep monoteisme dalam agama-agama besar (Yudaisme, Kristen, Islam, Hinduisme, dan Buddhisme), belum menjadi sarjana. Tetapi itu tidak boleh menjadi alasan. Pokoknya, saya tidak berkutik terhadap “pukulan keras” itu. Saya hanya dapat berharap agar saya dapat lebih banyak lagi mempelajari dan memahami persoalan yang saya diskusikan dengan orang itu.
Tulisan yang Anda baca ini ingin mendiskusikan kembali persoalan tersebut. Maka pertanyaan-pertanyaan yang perlu diajukan di sini adalah; Sejauh mana manusia dapat mengetahui Tuhan yang transenden dan absolut itu? Bagaimana pengetahuan manusia yang benar tentang Tuhan? Jika Tuhan tidak dapat dinamai, dibicarakan, dan diungkapkan, bagaimana mungkin manusia dapat mengetahui dan berhubungan dengan-Nya?
A. Tuhan yang Diciptakan
Ibn al-’Arabi (560-638/1165-1240), salah seorang Sufi terbesar, mengkritik orang yang memutlakkan, atau, jika boleh, “menuhankan”, kepercayaannya kepada Tuhan, yang menganggap kepercayaannya itu sebagai satu-satunya yang benar dan menyalahkan kepercayaan orang lain. Orang seperti itu memandang bahwa Tuhan yang dipercayainya itu adalah Tuhan yang sebenarnya, yang berbeda dengan Tuhan yang dipercayai oleh orang lain yang dianggapnya salah. Ibn al-’Arabi menyebut Tuhan yang dipercayai manusia “Tuhan kepercayaan” (ilah al-mu’taqad), “Tuhan yang dipercayai” (al-ilahal-mu’taqad), “Tuhan dalam kepercayaan” (al-ilah fi al-i’tiqad), “Tuhan kepercayaan” (al-haqq al-i’tiqadi), “Tuhan yang dalam kepercayaan” (al-haqq al-ladzi fi al-mu’taqad), dan “Tuhan yang diciptakan dalam kepercayaan” (al-haqq al-makhluq fi al-i’tiqad).
Kata i’tiqad data mu’taqad, yang dalam tulisan ini diterjemahkan dengan “kepercayaan”, berasal dari akar ‘-q-d, yang berarti merajut, membuhul, mengikat; mengikatkan dengan sebuah buhul; memasang, mengumpulkan, menggabungkan, mengunci; mengecilkan, menyempitkan, mengerutkan; mengarahkan, memusatkan; melengkungkan, melekukkan; bertemu, berkumpul; mengadakan pertemuan, mengadakan rapat, mengumpulkan; membuat perjanjian, mengikat kontrak. Kata i’tiqad sendiri, secara literal (harfiah) atau figuratif (majazi), berarti menjadi terikat atau tersusun dengan kuat. Maka i’tiqad, “kepercayaan”, adalah suatu “ikatan” yang diikat dengan kuat dalam kalbu atau pikiran, sebuah keyakinan bahwa sesuatu adalah benar. Bagi Ibn al-’Arabi, “kepercayaan” adalah sebuah (peng)ikatan (binding) dan (pem)batasan (delimitation) Wujud Yang Tak Terbatas, Wujud Absolut (al-wujud al-muthlaq), yang dilakukan oleh dan berlangsung dalam subyek manusiawi.
Kepercayaan seorang hamba kepada Tuhannya ditentukan dan diwarnai oleh kapasitas pengetahuan sang hamba. Kapasitas pengetahuan itu tergantung kepada “kesiapan partikular” (al-isti’dad al-juz’i) masing-masing individu hamba sebagai bentuk penampakan “kesiapan universal” (al-isti’dad al-kulli) atau “kesiapan azali” (al-isti’dad al-azali) yang telah ada sejak azali dalam “entitas-entitas permanen” (al-a’yan al-tsabitah), yang merupakan bentuk penampakan diri (tajalli) al-Haqq (yaitu Tuhan). Tuhan menampakkan diri-Nya kepada hamba-Nya sesuai dengan kesiapan sang hamba untuk mencapai pengetahuan tentang Tuhan yang akhirnya “diikat” atau “dibatasi” oleh dan dalam kepercayaannya sesuai dengan pengetahuan yang dicapainya. Dengan demikian, Tuhan yang diketahui oleh sang hamba adalah identik dengan Tuhan dalam kepercayaannya. Dapat pula dikatakan bahwa Tuhan yang diketahuinya adalah identik dengan kepercayaannya.
Tuhan memberikan kesiapan (al-isti’dad), sesuai dengan firman-Nya, “Dia memberi segala sesuatu ciptaannya” [Q. s.Thaha/20:50]. Maka Dia mengangkat hijab antara Dia dan hamba-Nya. Sang hamba melihat-Nya dalam bentuk kepercayaannya; jadi Tuhan adalah identik dengan kepercayaannya sendiri. Baik kalbu maupun mata tidak pernah melihat sesuatu kecuali bentuk kepercayaannya tentang Tuhan. Tuhan yang ada dalam kepercayaan itu adalah Tuhan yang bentuk-Nya diliputi oleh kalbu; itulah Tuhan yang menampakkan diri-Nya kepada kalbu sehingga Dia dikenal. Maka mata tidak melihat selain Tuhan kepercayaan.163 “Tuhan kepercayaan” adalah gambar atau bentuk Tuhan, atau pemikiran, konsep, ide, atau gagasan tentang Tuhan yang diciptakan oleh akal manusia atau taklidnya. Tuhan seperti itu bukanlah Tuhan sebagaimana Dia sebenarnya, Tuhan pada diri-Nya, Zat-Nya, tetapi adalah Tuhan yang diciptakan oleh manusia sesuai dengan kemampuan, pengetahuan, penangkapan, dan persepsinya. Tuhan seperti itu adalah Tuhan yang “ditempatkan” oleh manusia dalam pemikiran, konsep, ide, atau gagasannya dan “diikat”-nya dalam dan dengan kepercayaannya.
“Bentuk”, “gambar”, atau “wajah” Tuhan seperti itu ditentukan atau diwarnai oleh pengetahuan, penangkapan, dan persepsi manusia yang mempunyai kepercayaan kepada-Nya. Apa yang diketahui diwarnai oleh apa yang mengetahui. Dengan mengutip perkataan al-Junayd, Ibn al-’Arabi berkata: “Warna air adalah warna bejana yang ditempatinya” (Lawn al ma’lawn ina’ihi). Itulah sebabnya mengapa Tuhan melalui sebuah hadits qudsi berkata: “Aku adalah dalam sangkaan hamba-Ku tentang Aku” (Ana ‘inda zhann ‘abdi bi).164 Tuhan disangka, bukan diketahui. Dengan kata lain, Tuhan hanya dalam sangkaan manusia, bukan dalam pengetahuannya. Tuhan tidak diketahui dan tidak dapat diketahui. Menarik untuk memperhatikan lanjutan firman Tuhan dalam hadits qudsi yang dikutip ini, yaitu: “Maka hendaklah ia [sang hamba] bersangka baik tentang Aku” (Fal-yazhunn bi khayran).
Tuhan menyuruh agar kita bersangka baik tentang Dia dalam setiap keadaan dan melarang kita bersangka buruk tentang Dia.165 Kita harus menjadikan sangkaan kita sebagai pengetahuan bahwa Tuhan adalah Maha Pengasih, Maha Penyayang, Maha Penolong, dan Maha Pengampun. Kita tidak bolehbersangka bahwa Tuhan adalah “pengawas yang selalu mencari kesalahan”, “petugas keamanan yang kasar dan galak”, atau “tuan besar yang bengis”. Sangkaan baik tentang Tuhan mendorong kita untuk mendekati dan mencintai-Nya agar kita mendapat rahmat-Nya. Nabi s.a.w. berkata: “Rahmat Tuhan mendahului (mengalahkan) murka-Nya”. Sangkaan buruk tentang Tuhan membuat kita jauh dari-Nya, menyalahkan-Nya, dan akhirnya berputus asa. Tuhan tidak menyenangi orang-orang yang berputus asa.
Kritik Ibn al-’Arabi terhadap orang yang memutlakkan Tuhan dalam kepercayaannya, Tuhan yang diciptakannya dalam kepercayaannya, mengikatkan kita kepada kritik Xenophanes (kira-kira 570-480 SM), seorang filsuf Yunani, terhadap antropomorfisme Tuhan, atau tuhan-tuhan. Kritik tokoh dari Kolophon, Asia Kecil, ini berbunyi sebagai berikut: Seandainya sapi, kuda, dan singa mempunyai tangan dan pandai menggambar seperti manusia, tentu kuda akan menggambarkan tuhan-tuhan menyerupai kuda, sapi akan menggambarkan tuhan-tuhan menyerupai sapi, dan dengan demikian mereka akan mengenakan rupa yang sama kepada tuhan-tuhan seperti terdapat pada mereka sendiri. Orang Etiopia mempunyai tuhan-tuhan hitam dan berhidung pesek, sedangkan orang Trasia mengatakan bahwa tuhan-tuhan mereka bermata biru dan berambut merah.166 Sebagaimana dikatakan di atas, “Tuhan kepercayaan” adalah Tuhan ciptaan manusia. Barangsiapa yang memuji ciptaannya memuji dirinya sendiri.
Ibn al-’Arabi berkata:
Tuhan kepercayaan adalah ciptaan bagi yang mempersepsinya. Dia adalah ciptaannya. Karena itu, pujiannya kepada apa yang dipercayainya adalah pujiannya kepada dirinya sendiri. Itulah sebabnya mengapa ia mencela kepercayaan orang lain. Jika ia menyadari [persoalan yang sebenarnya], tentu ia tidak akan berbuat demikian itu. Tidak diragukan bahwa pemilik obyek penyembahan khusus itu adalah bodoh tentang itu karena penolakannya terhadap apa yang dipercayai oleh orang lain tentang Allah. Jika ia mengetahui apa yang dikatakan oleh al-Junayd, “Warna air adalah warna bejana yang ditempatinya”, ia akan memperkenankan apa yang dipercayai setiap orang yang mempunyai kepercayaan dan mengakui Tuhan dalam setiap bentuk dan dalam setiap kepercayaan.167
Teori Ibn al-’Arabi tentang “Tuhan kepercayaan” didasarkan pula kepada sebuah hadits Nabi s.a.w. tentang penampakan diri Tuhan (tajalli al-haqq) pada hari kiamat.168 Nabi menceritakan bahwa pada hari kiamat, Tuhan akan menampakkan diri-Nya kepada umat manusia dalam berbagai bentuk, yang tiap-tiap bentuk akan ditolak oleh setiap orang yang tidak mengenalnya dan akan diterima oleh setiap orang yang mengenalnya. Akhirnya, semua orang atau kelompok akan menyadari bahwa sebenarnya Tuhan yang menampakkan diri-Nya dalam berbagai bentuk itu adalah satu dan sama; itu juga, tidak lain.
Pandangan Ibn al-’Arabi ini sesuai dengan larangan Nabi s.a.w. agar para sahabatnya tidak menyalahkan seorang awam yang pernah mengatakan kepada beliau di hadapan mereka bahwa Tuhan berada di langit, nun jauh di atas.Para sahabat mempersoalkan kepercayaan orang awam itu karena Tuhan berada di mana saja, tidak terikat oleh ruang dan waktu, dan tidak berbentuk. Tetapi Nabi memandang bahwa “sangkaan” orang awam itu tentang Tuhan sudah memadai baginya. Nabi sendiri pernah berkata: “Kasihilah siapa yang di bumi, niscaya engkau akan dikasihi oleh siapa yang di langit” (Irham man fi al-ardi, yarham-ka man fi al-sama’). Yang dimaksud dengan “siapayang di langit” dalam hadits ini adalah Tuhan. Tuhan berada di langit. Dengan alasan ini, dapat dikatakan bahwa Tuhan dalam kepercayaan Islam adalah “Tuhan Langit” (“the Sky God”), “Tuhan Surgawi”[karena surga berada di langit] (“the Heavenly God”), atau “Wujud Tertinggi Samawi” (“the Celestial Supreme Being”). Langit adalah simbol ketinggian, keagungan, keindahan, dan keabadian. Karena itu, langit dijadikan simbol Tuhan. Simbol bukan menunjukkan dirinya sendiri, tetapi menunjukkan sesuatu yang lain di luar dirinya. Simbol Tuhan bukanlah Tuhan, tetapi menunjukkan Tuhan.
Tuhan dalam kepercayaan Islam adalah seorang “laki-laki”, atau, lebih tepatnya, disimbolkan dengan seorang “laki-laki”. Tuhan dalam kepercayaan Islam, seperti Tuhan dalam kepercayaan-kepercayaan Yahudi dan Kristen, adalah Huwa (“He”), bukan Hiya (“She”). Tuhan dalam kepercayaan Islam selalu dipahami dengan kata-kata maskulin. (Pandangan yang menekankan aspek maskulin Tuhan atau memahami Tuhan sebagai “Tuhan Laki-Laki” seperti ini ditentang oleh teologi feminis radikal yang menekankan aspek feminin Tuhan atau memandang Tuhan sebagai “Tuhan Perempuan”). Dengan demikian, Tuhan dalam kepercayaan Islam, sebagaimana dalam kepercayaan-kepercayaan Yahudi dan Kristen, adalah seorang “person,” seorang “pribadi”. Itulah sebabnya mengapa dikatakan bahwa Tuhan agama-agama monoteistik atau teistik, termasuk Islam, adalah “personal”, “berpribadi”. Tuhan dalam arti ini bukan “impersonal”, bukan “tak-berpribadi”, dan, karena itu, Dia bukan “Itu” (“It”). Pengaruh kebudayaan terhadap bentuk atau tipe kepercayaan kepada Tuhan, terhadap “Tuhan kepercayaan”, dibuktikan oleh sejarah agama agama.
Tuhan dalam kepercayaan orang-orang yang berkebudayaan patriarkal pastoral, yang berkebudayaan perayahan yang hidup dengan menggembala, berbeda dengan Tuhan dalam kepercayaan orang-orang yang berkebudayaan matriarkal agrikultural, yang berkebudayaan peribuan yang hidup dengan bertani. Bapa Samawi atau Bapa Surgawi adalah Tuhan tipikal orang-orang nomad yang hidup dari hasil kawanan ternak mereka; kawanan ternak itu hidup di padang rumput, dan pada gilirannya padang rumput tergantung kepada hujan dari langit. Ibu Bumi atau Ibu Pertiwi adalah Tuhan tipikal para petani yang hidup dari hasil tanah atau bumi.169 Dalam kebudayaan patriarkal pastoral, biasanya bapa dan langit dijadikan sebagai simbol Tuhan. Dalam kebudayaan matriarkal agrikultural, ibu dan bumi sering dijadikan sebagai simbol Tuhan. Agama-agama Semitik lebih cenderung kepada kebudayaan tipe pertama. Bukankah agama-agama Semitik, karena diturunkan dari langit, sering disebut “agama-agama samawi”,”agama-agama langit?” Dalam ketiga agama ini, karena “Tuhan berada di langit”, maka ungkapan-ungkapan simbolis, seperti “turun dari langit”, “naik ke langit”, dan “berada di langit”, lazim digunakan untuk melukiskan peristiwa-peristiwa sakral dan pengalaman-pengalaman spritual.
Sekali lagi, semua deskripsi dan ungkapan ini adalah simbol (yang menunjukkan) Tuhan, bukan Tuhan itu sendiri. Di mata kaum monoteis, kekeliruan kaum politeis terletak pada penuhanan mereka akan simbol-simbol seperti langit, matahari, bulan, dan bumi. Kaum politeis tidak lagi sepenuhnya bertuhan kepada Tuhan, tetapi telah bertuhan kepada simbol-simbol. Di mata Ibn al-’Arabi, orang yang menyalahkan atau mencela kepercayaan-kepercayaan lain tentang Tuhan adalah orang yang bodoh karena Tuhan dalam kepercayaannya sendiri, sebagaimana dalam kepercayaan-kepercayaan yang disalahkannya itu, bukanlah Tuhan sebagaimana Dia sebenarnya, karena Tuhan sebagaimana Dia sebenarnya tidak dapat diketahui. Orang seperti itu mengakui hanya Tuhan dalam bentuk kepercayaannya atau kepercayaan kelompoknya sendiri dan mengingkari Tuhan dalam bentuk-bentuk berbagai kepercayaan lain. Padahal Tuhan yang menampakkan diri-Nya dalam semua bentuk kepercayaan-kepercayaan yang berbeda itu adalah satu dan sama. Kritik Ibn al-’Arabi ini, jika harus konsisten, tertuju kepada setiap orang yang mencela kepercayaan-kepercayaan lain yang berbeda dengan kepercayaannya tentang Tuhan, baik dalam lingkungan orang-orang yang seagama dengannya maupun dalam lingkungan orang-orang yang berbeda agama.
Ibn al-’Arabi memperingatkan kita sebagai berikut:
Maka berhati-hatilah agar anda tidak mengikatkan diri kepada ikatan (‘aqd) [yaitu kepercayaan, doktrin, dogma, atau ajaran] tertentu dan mengingkari ikatan lain yang mana pun, karena dengan demikian itu anda akan kehilangan kebaikan yang banyak; sebenarnya anda akan kehilangan pengetahuan yang benar tentang apa itu yang sebenarnya. Karena itu, hendaklah anda menerima sepenuhnya semua bentuk kepercayaan-kepercayaan,karena Allah Ta’ala terlalu luas dan terlalu besar untuk dibatasi dalam satu ikatan tanpa ikatan lain, Dia berkata: “Kemana pun kamu berpaling, di situ ada wajah Allah”, [Q 2:115] tanpa menyebutkan arah tertentu mana pun.170
Pengetahuan yang benar tentang Tuhan, menurut Sufi dari Andalusia ini, adalah pengetahuan yang tidak terikat oleh bentuk kepercayaan atau agama tertentu. Inilah pengetahuan yang dimiliki oleh “para gnostik” (al-‘arifun). Karena itu, “para gnostik”, yaitu para Sufi, tidak pernah menolak Tuhan dalam kepercayaan, sekte, aliran, atau agama apa pun. Ini berarti bahwa Tuhan, bagi mereka, dalam semua kepercayaan, sekte, aliran, atau agama, adalah satu dan sama. Kata Ibn al-’Arabi, “Barangsiapa yang membebaskan-Nya [yaitu Tuhan] dari pembatasan tidak akan mengingkari-Nya dan mengakui-Nya dalam setiap bentuk tempat Dia mengubah diri-Nya.”171
B. Tuhan Yang Sebenarnya
Tuhan sebagaimana Dia sebenarnya, Tuhan pada diri-Nya, Zat Tuhan, tidak diketahui dan tidak dapat diketahui oleh akal manusia. Tuhan dalam arti ini oleh Ibn al-’Arabi disebut “Tuhan Yang Sebenarnya”, “the Real God” (al-ilah al-haqq) “Tuhan Yang Absolut”, “the Absolute God” (al-ilah al-muthlaq); dan “Tuhan Yang Tidak Diketahui”, “the Unknown God” (al-ilah al-majhul). Tuhan dalam arti ini adalah munazzah (tidak dapat dibandingkan [dengan alam], sama sekali berbeda dengan alam, transenden terhadap alam. “Tidak sesuatu pun serupa dengan-Nya” (Q., s. al-Syura/42:11). “Penglihatan tidak dapat mempersepsi-Nya, tetapi Dia mempersepsi semua penglihatan” (Q., s. al-An’am/6: 103). Itulah Tuhan yang tidak bisa dipahami dan dihampiri secara absolut, yang sering disebut Dzat Tuhan. Itulah Yang Absolut dalam keabsolutan-Nya yang terlepas dari semua sifat dan relasi yang dapat dipahami manusia. Dia adalah “yang paling tidak tentu dari semua yang tidak tentu”, “yang palingtidak diketahui dari semua yang tidak diketahui” (ankar al-nakirat). Dia adalah selama-lamanya suatu misteri, yang oleh Ibn al-’Arabi disebut “Misteri Yang Absolut” (al-ghayb al-muthlaq) atau “Misteri Yang Paling Suci” (al-ghayb al-aqdas). Dilihat dari sudut penampakan diri (tajalli) Tuhan, dikatakan bahwa Yang Absolut dalam keabsolutan-Nya adalah pada tingkat “keesaan” (ahadiyah).
Karena Tuhan, yaitu Dzat Tuhan, tidak dapat diketahui oleh siapa pun, maka Nabi s.a.w. melarang orang-orang beriman untuk memikirkan Tuhan. Beliau bersabda: “Berpikirlah, tentang ciptaan Allah, tetapi jangan berpikir tentang Dzat Allah.” Hadits ini cukup terkenal di kalangan orang-orang yang mempelajari ilmu tawhid. Larangan ini diperkuat oleh Ibn al-’Arabi dengan firman Tuhan yang berbunyi: “Allah memperingatkan kamu tentang diri-Nya” (Q., s. Alu ‘Imran/3:28). Ibn al-’Arabi menegaskan sebagai berikut: Berpikir (fikr) tidak mempunyai hukum dan daerah kekuasaan dalam [mengetahui, atau memahami] Zat al-Haqq, baik secara rasional maupun menurut Syara’. Syara’ telah melarang berpikir tentang Zat Allah. Inilah yang disinggung oleh firman-Nya, “Allah memperingatkan kamu tentang diri-Nya,” [Q., s. Alu 'Imran/3: 28] yaitu “Jangan kamu berpikir tentang-Nya [Zat-Nya)!" Larangan ini ditetapkan karena tidak ada hubungan antara Zat al-Haqq dan zat al-khalq.172 Dari segi diri-Nya, Zat Tuhan tidak mempunyai nama, karena Dzat itu bukanlah lokus efek dan bukan pula diketahui oleh siapa pun. Tidak ada nama yang menunjukkannya yang terlepas dari hubungan dan bukan pula dengan pengukuhan. Nama-nama berfungsi untuk pemberitahuan dan pembedaan, tetapi pintu [untuk mengetahui Zat Tuhan] dilarang bagi siapa pun selain Allah, karena tidak ada yang mengetahui Allah kecuali Allah.173
Ibn al-’Arabi mengecam orang-orang yang melanggar larangan berpikir tentang Zat Tuhan dan menuduh mereka telah menambah kesalahan dengan al-khawdl (melakukan upaya spekulasi besar-besaran dan serampangan). Ia memandang bahwa upaya mereka itu adalah sia-sia.
Pandangan bahwa Tuhan tidak dapat diketahui ditemukan pula dalam Bibel. Salah satu bagian Kitab Suci ini mengatakan bahwa Tuhan, meskipun hadir dalam alam dan manusia, adalah misteri yang tidak dapat dipahami oleh akal manusia. Ketika Nabi Musa berada di Gunung Sinai, ia melihat dan menyaksikan dalam semak-semak yang menyala (tetapi tidak dimakan api) Kehadiran Tuhan yang memerintahkannya untuk menghadapi Fir’awn dan membebaskan bangsa Israel dari raja yang zalim itu. Lalu, Musa bertanya kepada Tuhan tentang nama-Nya untuk mengetahui siapa diri-Nya, Tuhan menjawab:
“Ehyeh asyer Ehyeh” (Keluaran 3:14). Terjemahan yang biasa dari ungkapan Ehyeh asyer Ehyeh adalah “Aku adalah Aku” (“I am that I am”) atau “Aku akan jadi Aku” (“I will be that I will be”). Leo Schaya, seorang sarjana terkemuka tentang Kabbalisme (mistisisme Yahudi), menafsirkan bahwa Kehadiran Zat yang esa itu menyatakan diri-Nya kepada Musa sebagai Ehyeh, “Wujud (‘Being’) yang esa dan universal,” sebagai “Wujud yang adalah Wujud” (“Being that is Being’ (Ehyeh asyer Ehyeh), di luar dan di dalam seluruh eksistensi. Tetapi Ia juga menyatakan kepadanya [yaitu Musa] bahwa Ia bukan hanya Zat dan Prinsip eksistensi, tetapi secara serentak tetap dalam keadaan pada diri-Nya, dalam Supra-Wujud atau Bukan-Wujud Nya –yang dalam Kabbalah disebut Ain, “Ketiadaan” ilahi (the divine “Nothingness”).174
Kaum Kabbalis, dalam keinginan besar mereka untuk menekankan ketakterpahaman (incomprehensibilty) Tuhan pergi begitu jauh sehingga mereka berbicara tentang Tuhan sebagai ‘Ayn –”Dia Yang Bukanlah”, “Dia Yang adalah Bukan” (“He Who is Not”)– yaitu untuk mengatakan bahwa sesungguhnya orang tidak dapat mengatakan bahwa Tuhan ada [dan tentu pula sebaliknya tidak dapat mengatakan bahwa Tuhan tidak ada], karena mengatakan demikian adalah juga suatu deskripsi tentang yang tidak dapat dideskripsikan.175
Jawaban Tuhan tersebut, Ehyeh asyer Ehyeh, menunjukkan bahwa diri-Nya tidak dapat dipahami oleh akal manusia. Karena itu, Musa diperingatkan oleh Tuhan agar tidak bertanya tentang diri-Nya, Dzat-Nya.
Yang diketahui oleh manusia adalah perbuatan-perbuatan atau karya-karya Tuhan, bukan Tuhan itu sendiri. Ini berarti bahwa Tuhan hanya bisa diketahui melalui perbuatan-perbuatan-Nya, tidak pernah diketahui sebagai Dia pada diri-Nya. Ketika Musa memohon kepada Tuhan agar memperlihatkan kemuliaanNya, Dia berfirman: “Engkau tidak akan bisa memandang wajah-Ku, karena tidak ada orang yang bisa memandang wajah-Ku dan bisa hidup.” Tuhan berfirman: “Ada suatu tempat dekat-Ku, tempat engkau dapat berdiri di atas batu. Apabila kemuliaanKu lewat, maka Aku akan menempatkan engkau dalam lekuk batu itu dan Aku akan menutupi engkau dengan tangan-Ku sehingga Aku lewat. Lalu, Aku akan menarik tangan-Ku, dan engkau akan melihat belakang-Ku, tetapi wajah-Ku tidak akan terlihat” (Keluaran 33:20-23). Dalam Perjanjian Baru, tradisi mistis ini, meskipun tidak begitu tegas, mempunyai akar yang dapat tumbuh dengan subur dan kuat. St. Yohanes mengatakan: “Tidak seorang pun melihat Tuhan kapan saja” (Yohanes 1:18). Surat Paulus kepada Timotius membicarakan Tuhan “yang bersemayam dalam cahaya yang tak terhampiri. Tidak seorang pun pernah melihat-Nya; dan memang tidak seorang pun bisa pernah melihat-Nya” (1 Timotius 6:16). Ungkapan Paulus kepada Timotius ini, yang ditemukan menjelang akhir periode Perjanjian Baru dan menunjukkan pengaruh pemikiran Yunani, seperti dikatakan Bede Griffiths,menyatakan transendensi absolut Ketuhanan (Godhead). Ini telah dikembangkan oleh para bapa Yunani dalam konteks konsep tentang ketakterpahaman (incomprhensibility) Tuhan.176
Pandangan yang menekankan penegasian pengetahuan tentang Tuhan dikenal dalam, bahkan sangat akrab dengan, tradisi-tradisi keagamaan Timur, seperti Hinduisme dan Taoisme. Upanisad, Kitab Suci Hindu, mengatakan: Dia yang tidak terlihat oleh mata, yang tidak terucapkan oleh lidah, dan yang tidak tertangkap oleh pikiran. Dia yang tidak kita ketahui, juga yang tidak mampu kita ajari. Berbedalah Dia dengan yang diketahui, dan berbedalah Dia dengan yang tidak diketahui. Demikian kita ketahui dari sang bijak. Yang tidak dapat diungkapkan dengan kata-kata tetapi dengan-Nya lidah berbicara ketahuilah itu adalah Brahman. Brahman bukanlah wujud yang disembah manusia. Yang tidak dipahami oleh pikiran tetapi dengan-Nya pikiran memahami –ketahuilah itu adalah Brahman. Brahman bukanlah wujud yang disembah manusia. Yang tidak dilihat oleh mata tetapi dengan-Nya mata melihat –ketahuilah itu adalah Brahman. Brahman bukanlah wujud yang disembah manusia. Yang tidak didengar oleh telinga tetapi dengan-Nya telinga mendengar –ketahuilah itu adalah Brahman. Brahman bukanlah wujud yang disembah manusia. Yang tidak ditarik oleh nafas tetapi dengan-Nya nafas ditarik –ketahuilah itu adalah Brahman. Brahman bukanlah wujud yang disembah manusia. Jika engkau mengira bahwa engkau mengetahui dengan baik kebenaran Brahman, ketahuilah bahwa engkau mengetahui [hanya] sedikit. Apa yang anda kira sebagai Brahman pada diri anda, atau apa yang anda kira sebagai Brahman dalam tuhan-tuhan [atau dewa-dewa] –itu bukanlah Brahman” (Kena Upanisad). Karena Brahman tidak dapat diungkapkan oleh apa pun dan selalu di luar kata-kata dan di luar pemikiran, maka Brihadaranyaka Upanisad mengatakan bahwa Brahman mustahil dibicarakan. Brahman adalah “bukan ini, bukan ini”, “bukan ini, bukan itu” (“neti, neti”). Brahman tidak dapat dikatakan bagaimana, tidak bersifat (“nirguna”). Karena itu,Brahman pada tingkat ini disebut “nirguna Brahman”. Pada tingkat ini Dia adalah Yang Absolut dalam keabsolutan-Nya.
Prolog Tao Te Ching, Kitab Suci Taois, yang biasanya dianggap ditulis oleh Lao-Tze, dibuka dengan kata-kata: “Tao yang dapat dibicarakan bukanlah Tao yang sebenarnya atau kekal. Nama-nama yang dapat disebutkan bukanlah nama yang sebenarnya atau kekal” (Tao Te Ching 1:1). Chuang-Tze, penulis Cina abad keempat SM, dengan nada yang sama mengatakan: Tao Yang Agung tidak dinamai/dinamakan; Diskriminasi-diskriminasi Yang Agung tidak dibicarakan; Kemurahan Hati Yang Agung bukanlah murah hati; Kerendahan Hati Yang Agung bukanlah rendah hati; Keberanian Yang Agung bukanlah menyerang; Jika Tao dijelaskan, itu bukanlah Tao.(Chuang-Tze, Bab 2)
Kutipan-kutipan ini menunjukkan bahwa Tao tidak dapat diungkapkan dan dijelaskan dengan kata-kata; Ia adalah di luar bahasa. Itulah Tao yang sebenarnya, yang merupakan Yang Absolut dalam keabsolutan-Nya. Yang Absolut itu oleh Laot-Tze disebut “Misteri di belakang segala misteri” (“hsuan chih yu hsuan”) dan oleh Chuang-Tze disebut “Tiada-Tiada-Tiada-Apa-apa”, “No-No-Nothing”, atau “Bukan-Bukan-Bukan-Wujud”, “Non-Non-Non-Being” (“wu-wu-wu”). “Tiada-Tiada-Tiada-Apa-apa” adalah Tao atau “Tiada-Apa-apa metafisis yang bukan suatu ‘tiada-apa-apa’ yang sederhana, tetapi suatu TiadaApa-apa yang berada di seberang ‘wujud’ dan ‘bukan-wujud’ sebagaimana biasanya dipahami”.177 Yang Absolut dalam kebsolutan-Nya seperti ini dalam Sufisme Ibn al-’Arabi disebut “Misteri Yang Absolut” dan “Misteri Yang Paling Suci”, dalam mistisisme Kristen disebut “Ketuhanan”, dan dalam tradisi Hindu disebut “nirguna Brahman”.
C. Teologi Apofatik
Dalam konteks ini, salah satu persoalan teologis-mistis yang selalu menggoda untuk dijawab adalah cara mendekati dan mencintai Tuhan. Bagaimana mungkin kita dapat mendekati dan mencintai Tuhan yang tidak diketahui? Bagaimana mungkin Tuhan yang sama sekali berbeda dengan alam dan manusia dapat hadir dalam alam dan manusia? Bagimana mungkin Tuhan yang transenden terhadap alam dan manusia adalah immanen dalam alam dan manusia?
Menurut Thomas Merton (1915-1968), seorang teolog dan mistikus Katolik Roma berkebangsaan Amerika, para teolog mistis menghadapi persoalan ini sebagai persoalan “mengatakan apa yang sesungguhnya tidak dapat dikatakan” (“saying what cannot really be said”).178 Persoalan ini dapat pula dideskripsikan dengan ungkapan-ungkapan paradoksikal lain, seperti membicarakan yang tidak dapat dibicarakan” (“speaking of the unspeakable”),179 “mengetahui Tuhan Yang Tidak Dapat Diketahui” (“knowing the Unknowable God”),180 “menamai yang tidak dapat dinamai,” “menamakan apa yang tidak dapat dinamakan” (“naming the unnamable”),181 “mengungkapkan yang tidak dapat diungkapkan” (“expressing the inexpressible”),182 “memikirkan yang tidak dapat dipikirkan” (“thinking of the unthinkable”), “memahami yang tidak dapat dipahami” (“comprehending the incomprehensible”), “membayangkan yang tidak dapat dibayangkan” (“conceiving the unconceivable”), dan “melukiskan yang tidak dapat dilukiskan” (“describing the indescribable”).
Salah satu cara terbaik untuk memecahkan persoalan ini adalah dengan suatu teologi yang disebut “teologi apofatik” (“apophatic theology”), teologi “tidak mengetahui” (the theology of “unknowing”), yang melukiskan pengalaman transenden tentang Tuhan dalam cinta sebagai suatu “mengetahui dengan tidak mengetahui” (“knowing by unknowing”) dan suatu “melihat yang bukan melihat” (“seeing that is not seeing”).183
Seorang mistikus dan penulis spiritual Inggris abad keempatbelas, penulis anonim The Cloud of Unknowing, adalah salah satu contoh terbaik wakil teologi apofatik karena kecenderungan teologinya itu menekankan bahwa Tuhan paling baik diketahui dengan penegasian: “kita dapat mengetahui lebih banyak tentang apa yang bukan Tuhan ketimbang tentang apa yang adalah Dia” (“we can know much more about what God is not than about what He is”).184 Penulis The Cloud of Unknowing itu dengan konstan menggunakan tema paradoksikal “mengetahui” dan “tidak mengetahui.”Menjelang bagian akhir karyanya itu, ia menegaskan intisari pandangan apofatiknya dengan mengutip kata-kata Dionysius orang Areopagus (St.Denis), “Dan karena itu St. Denis berkata, ‘Mengetahui yang paling saleh[paling tinggi] akan Tuhan adalah [mengetahui] yang dikenal dengan tidak mengetahui’” (“And therefore St. Denis said ‘The most godly knowing of God is that which is known by unknowing’”).185
William Johnston, seorang Yesuit, memberikan sebuah komentar yang menarik tentang tema paradoksikal ini. Ia berkata: “Kita mengetahui Tuhan, namun tidak mengetahui-Nya; kita mengetahui-Nya dengan tidak mengetahui; kita mengetahui-Nya dalam kegelapan; kita mengetahui-Nya dengan cinta”.186 Bagi penulis The Cloud of the Unknowing, Tuhan dapat dicintai, tetapi tidak dapat dipikirkan. Meskipun jiwa manusia tidak dapat menembus misteri Tuhan dengan pemahaman rasional, ia dapat bersatu dengan-Nya dengan cinta. “Karena mengapa, Dia [yaitu Tuhan] dapat dicintai dengan baik, tetapi tidak dapat dipikirkan. Dengan cinta Dia dapat dicapai dan dipegang, tetapi dengan pikiran tidak”.187 Menurut mistikus Inggris anonim ini, jika sang hamba mengosongkan pikirannya dari segala sesuatu dan segala gambaran, akan tumbuh dalam kalbunya “getaran buta dari cinta” (“the blind stirring of love”) yang menembus “awan tidak mengetahui”, “awan ketidaktahuan” (“The Cloud of Unknowing”), yang membawa sang hamba kepada suatu pengetahuan yang suprakonsepsual dan gelap; itulah kebijakan tertinggi.
Penulis The Cloud of Unknowing sangat dipengaruhi oleh Diosynisius orang Areopagus, yang menurut penelitian belakangan adalah seorang rahib Siria yang hidup pada ujung abad kelima dan permulaan abad keenam Masehi. Dionysius memandang bahwa pengetahuan rasional tentang Tuhan, baik dengan cara afirmatif maupun dengan cara negatif (meskipun yang terakhir ini ditekankannya karena ia menegaskan transendensi Tuhan), tidak memadai. Ia memilih pengetahuan mistis, yang menurut pandangannya lebih tinggi dari pengetahuan rasional yang diperoleh melalui spekulasi teologis dan filosofis dengan menggunakan akal. Pengetahuan mistis adalah pengetahuan yang diperoleh sebagai anugerah dari Tuhan. Pengetahuan mistis seperti ini tidak ditemukan dalam buku-buku, tidak juga diperoleh dengan usaha manusia, karena ia adalah suatu pemberian ilahi. Bagaimana pun, manusia dapat mempersiapkan diri menerimanya dengan doa dan penyucian.
Karena indera dan intelek manusia tidak mampu mencapai Tuhan, indera dan intelek harus “dikosongkan” dari semua makhluk dan disucikan supaya Tuhan dapat menuangkan cahaya-Nya ke dalam indera dan intelek itu. Dalam arti ini, indera dan intelek berada dalam kegelapan sempurna dalam hubungan dengan segala ciptaan tetapi pada saat yang sama dipenuhi dengan cahaya dari Tuhan. Karena itu, dapat dikatakan bahwa “Kegelapan Ilahi” (the “Divine Darkness’) adalah cahaya yang tidak dapat dihampiri yang dikatakan di dalamnya Tuhan bersemayam”. Ketika semua daya dikosongkan dari semua pengetahuan manusiawi, maka berkuasalah dalam jiwa suatu “keheningan mistik” (“mystic silence”) yang membawanya kepada klimaks, yaitu kesatuan dengan Tuhan dan visi tentang Dia sebagai Dia pada diri-Nya”.188 Pengetahuan seperti ini adalah pengetahuan ilahi tentang Tuhan yang berlangsung dengan “tidak mengetahui” (“unknowing”) atau “ketidaktahuan” (“ignorance”), yang berarti bahwa sang hamba harus mencampakkan pengetahuan konsepsual manusiawi untuk menerima pengetahuan anugerah ilahi.
Bagi Dionysius, satu-satunya jalan mengetahui Tuhan adalah dengan “tidak mengetahui”, dengan menyeberang di luar konsep, di luar pikiran rasional dan dengan menerima suatu sinar “kegelapan ilahi”. Mistikus ini menyerukan agar sang pencari Tuhan melepaskan diri dari persepsi, imaginasi, dugaan, nama, pembahasan, pemahaman, pemikiran, dan segala sesuatu yang membelenggu dan menjauhkannya dari jalan menuju Tuhan, agar sang pencari memasuki “kegelapan ilahi” yang melebihi segala sesuatu dan “mengetahui dengan tidak mengetahui”.
Teologi apofatik Dionysius ini menjadi dasar mistisisme apofatik Kristen di kemudian hari. Pengaruh mistikus ini dapat ditemukan, misalnya, pada Maximus Sang “Confessor”, Yohanes Scotus Erigena, Thomas Aquinas, Bonaventura, Dante, dan Penulis The Cloud of Unknowing.
Bagaimana tradisi mistis Yahudi memecahkan persoalan teologis yang rumit ini? Kaum Kabbalis, seperti dikemukan di atas, memandang bahwa Tuhan adalah rahasia yang tidak dapat dipahami oleh manusia. Namun, roh manusia, atau wujud rohani manusia, mampu membenamkan dirinya dalam jurang yang dalam sekali tanpa alas dari “Ketiadaan” ilahi. Ketika Musa melihat Kehadiran Tuhan di Gunung Sinai, ia mencapai pengalaman rohani seperti itu; “ketika ia naik selangkah demi selangkah sehingga masuk ke dalam kegelapan awan Tuhan”.189 Ketika itu Musa menutup matanya kepada semua pengetahuan positif, menyingkirkan semua pikiran dan penglihatan, karena ia sepenuhnya milik Dia yang tidak terjangkau oleh pikiran dan penglihatan, sehingga ia bersatu dengan Dia yang tidak dapat ditangkap oleh pengetahuan. Itulah yang oleh kaum Kabbalis disebut bittul ha-yesy,”kemusnahan eksistensi” dalam Ain, “Ketiadaan” ilahi, yang berarti kemusnahan pikiran manusiawi dan “kontemplasi tentang Ketiadaan”190 Pengalaman spiritual seperti itu tidak dapat diperoleh melalui pikiran, tetapi diperoleh melalui pertolongan Tuhan. Agar pertolongan itu diperoleh, seseorang harus memusnahkan pikiran dan pada saat yang sama harus melakukan kontemplasi tentang Ketiadaan.
Bahasa apofatisme yang jauh lebih tua dapat ditemukan dalam Upanisad. Suatu bagian Kitab Suci ini berbunyi: “Orang yang dengan benar mengetahui Brahman adalah orang yang mengetahui-Nya sebagai di luar pengetahuan; orang yang mengira bahwa ia mengetahui[-Nya], tidak mengetahui. Orang bodoh mengira bahwa Brahman diketahui, tetapi orang bijak mengetahui-Nya di seberang pengetahuan” (Kena). Ini berarti bahwa pengetahuan yang benar tentang Tuhan adalah pengetahuan negatif: “mengetahui Tuhan dengan tidak mengetahui-Nya.”
Menurut Ibn al-’Arabi, pengetahuan tentang Tuhan sebagaimana Dia sebenarnya, Tuhan pada diri-Nya, Zat Tuhan, harus diperoleh dengan “peniadaan pengetahuan”. Ini berarti bahwa mengetahui Tuhan dengan tidak mengetahui-Nya; pengetahuan positif tentang Tuhan adalah mustahil. Ia berkata: “Orang yang tidak mempunyai pengetahuan membayangkan bahwa ia mengetahui Tuhan, itu tidak betul”, karena “pengetahuan kita tentang Tuhan adalah mustahil”. “Orang yang mengetahui Tuhan tidak melampaui batas tingkatnya sendiri. Ia mengetahui apa yang ia ketahui bahwa ia adalah salah seorang di antara orang-orang yang tidak mengetahui”.191
Dengan berkali-kali mengutip perkataan Abu Bakr r.a., Ibn al-’Arabi berkata: “Ketidakmampuan mencapai persepsi adalah persepsi” ["Ketidakmampuan mencapai pengetahuan adalah pengetahuan"] (Al-’ajz ‘an dark al-idrak idrak).192 Ungkapan ini melukiskan tingkat tertinggi pengetahuan manusia tentang Tuhan dan segala sesuatu yang gaib yang tidak dapat diketahuinya. Orang yang mengetahui bahwa ia tidak dapat mengetahui Tuhan adalah orang yang secara benar mengetahui-Nya; itulah orang yang bijak. Orang yang menganggap bahwa ia mengetahui Tuhan adalah orang yang tidak mengetahui-Nya; itulah orang yang bodoh. Bukankah Tuhan telah berfirman: “Penglihatan tidak dapat mempersepsi-Nya [yaitu Tuhan],tetapi Dia mempersepsi semua penglihatan” (Q., s: al-An’am/6:103)?
D. Catatan Akhir
Teologi apofatik menegaskan kemustahilan pengetahuan manusia tentang Tuhan sebagaimana Dia pada diri-Nya, Tuhan yang sebenarnya. Pengetahuan yang benar dan tertinggi tentang Tuhan adalah pengetahuan dengan “tidak mengetahui” atau “ketidaktahuan” karena Tuhan di luar jangkauan pengetahuan manusia dan tidak dapat diungkapkan dengan kata-kata dan bahasa manusia. Pengetahuan seperti ini tidak dapat diperoleh dengan -pikiran, tetapi adalah pemberian Tuhan kepada hamba-Nya yang telah mempersiapkan diri untuk menerimanya dengan doa dan penyucian. Seperti disebut di atas, penulis The Cloud of Unknowing mengatakan bahwa Tuhan dapat dicintai, tetapi tidak dapat dipikirkan. Dengan cinta Tuhan dapat dihampiri dan dipegang, tetapi dengan pikiran tidak. Tuhan bukan untuk dipikirkan dengan akal, tetapi untuk dicintai dan “dirasakan” dengan Kalbu (qalb).
Semua orang yang percaya kepada Tuhan tentu saja ingin mencintai Tuhan. Cinta seorang hamba kepada Tuhan pasti dibalas. Tuhan mencintai hamba yang mencintai-Nya. Jika sang hamba mencintai Tuhan, ia harus mengikuti Tuhan dan panutan yang diutus-Nya. Tuhan berfirman: “Katakanlah: ‘Jikak-amu benar-benar mencintai Allah, ikutilah aku, nicaya Allah mencintaimu dan mengampuni dosa-dosamu’. Allah adalah Maha Pengampun dan Maha Penyayang.” (Q. s. Alu ‘Imran/3:31). “Aku menunjukkan cinta-Ku kepada beribu-ribu generasi, yaitu orang-orang yang mencintai-Ku dan mematuhi hukum-hukum-Ku.” (Keluaran 20:6). Yesus menyerukan: “Jika kamu menurutiperintah-perintahku, kamu akan tetap dalam cintaku, seperti aku menuruti perintah-perintah Bapaku dan tetap dalam cinta-Nya” (Yohanes 15:10).
Cinta vertikal antara sang hamba dan Tuhannya tidak akan terwujud jika tidak disertai dengan cinta horisontal antara sang hamba dan sesamanya. Seperti disebutkan di atas, Nabi berkata: “Kasihilah siapa yang di bumi,niscaya engkau akan dikasihi oleh siapa yang di langit”. Pada kesempatan lain beliau berkata: “Tidaklah beriman salah seorang di antara kamu hingga dia mencintai saudaranya seperti mencintai dirinya sendiri”. Yesus membenarkan perkataan seorang ahli Taurat: “Cintailah tetanggamu seperti mencintai dirimu sendiri.” (Lukas 10: 27).
Teologi apofatik, atau mistisisme apofatik, adalah suatu cara berpikir atau aktivitas mental yang digunakan oleh banyak mistikus atau Sufi untuk menempuh perjalanan menuju Tuhan dan sekaligus untuk menyuarakan protes keras terhadap kelancangan dan keangkuhan para teolog dan para filsuf yang menganggap bahwa mereka mempunyai konsep, ide, atau gagasan tentang Tuhan sebagaimana Dia pada diri-Nya. Teologi apofatik adalah peringatan bagi orang yang mereduksi Tuhan menjadi sesuatu yang rasional belaka. Teologi apofatik menunjukkan bahwa orang yang memandang bahwa dengan nalarnya ia mempunyai pengetahuan yang memadai tentang Tuhan adalah orang yang membatasi Tuhan dalam bentuk khusus menurut pengertian yang ditentukan oleh akalnya. Padahal Tuhan tidak dapat dibatasi. Bentuk Tuhan yang ditangkapnya adalah bentuk yang dicocokkan dengan “kotak” akalnya. Ia menolak bentuk Tuhan yang tidak cocok dengan bentuk dan ukuran “kotak” akalnya. Ia menyalahkan orang lain yang mempercayai Tuhan dalam bentuk lain. Ia tidak menerima apa pun sebagai kebenaran jika bertentangan dengan akalnya. Ia telah mempertuhankan akalnya. Orang seperti ini, kata Ibn al-’Arabi, adalah “hamba nalar” (‘abd nazhar), bukan “hamba Rabb” (‘abd rabb).
Wallahu a'lam....
oleh Kautsar Azhari Noer
Ketua Jurusan Perbandingan Agama, IAIN Jakarta,Pemimpin Redaksi Jurnal Pemikiran Islam Paramadina
Aku Menciptakan Tuhanku
Reviewed by Edi Sugianto
on
12.12
Rating:
Tidak ada komentar: