Masaru Emoto
Masaru Emoto, peneliti dan pemikir independen asal Jepang menulis bahwa saat ini kita berada dalam dunia vibrasi atau getaran. “Semua yang ada di alam semesta bergetar pada frekuensi yang unik,” olehnya itu jika Anda memancarkan energi lembut kebahagiaan, “maka alam semesta akan merespon dengan kebahagiaan pula.” Begitu kata lulusan jurusan Hubungan Internasional Fakultas Kemanusiaan dan Ilmu Pengetahuan dari Yokohama Municipal University.
Dalam The True Power of Water, Emoto menamakan energi lembut itu dengan kata “Hado.” Penulis buku bestseller versi harian New York Times itu, menulis bahwa, “hado adalah energi lembut yang ada di dalam semua hal.” Artinya bahwa semua yang ada di alam ini, bahkan pada hal-hal yang terlihat statis seperti batu, memancarkan vibrasi, energi, atau hado.
Vibrasi atau getaran inilah yang turut menentukan bagaimana gerak umat manusia. Perang yang terjadi di dunia hingga kini, tak lepas dari vibrasi. Mudahnya, vibrasi ini dipahami sebagai sesuatu yang kelihatannya sepele, tapi itu menentukan. Dalam bukunya The True Power of Water dan juga The Secret Life of Water, Emoto memperlihatkan foto-foto kristal yang dihasilkan oleh air ketika merespon vibrasi (getaran) kata-kata yang diucapkan oleh manusia. Ketika seorang berkata positif, seperti “kamu cantik”, “kamu baik”, “aku cinta kamu” kepada air, maka air itu akan merespon dengan membentuk kristal heksagonal (segi enam) yang bentuknya unik. Pun demikian, kalau kata-kata negatif yang diucapkan, seperti “aku benci kamu”, “kamu jelek”, maka air akan merespon dengan membentuk kristal yang tidak teratur.
Penelitian Masaru Emoto itu menarik sekali untuk dilihat dalam fenomena sosial. Perkelahian yang terjadi antar pemuda contohnya, kerap terjadi karena masalah sepele, seperti kata-kata kasar dan hinaan. Ketika seseorang dihina, maka dengan segera dirinya akan cenderung merespons vibrasi (getaran) itu dengan hal serupa pula, apalagi kalau tak ada iman di hatinya. Mari kita lihat kontekstualisasi konsepsi vibrasi (atau hado) ala pemikir Jepang itu dalam konteks sosial.
TIGA KUNCI
Untuk mengerti hado, Emoto memberikan tiga kuncinya, yaitu frekuensi, resonansi, dan kemiripan. Ketika kunci ini terkait sekali dengan kata-kata. Jika kita berkata negatif, maka itu bisa jadi semacam remote control untuk menyalakan getaran negatif di sekeliling. Coba saja, saat orang-orang tidak bersalah, kemudian Anda marah pada mereka. Apa yang terjadi? Pasti, mereka akan menerima energi negatif dari Anda. Begitu juga dengan kata-kata positif yang memberikan pengaruh positif pula.
Kata kunci pertama adalah, frekuensi. Biasa kalau dengar kata ini, kita teringat sebuah alat, yaitu radio. Radio itu memiliki frekuensi atau gelombang yang dapat memancarkan siaran sampai pada batas dimana gelombang itu berakhir. “Kata-kata yang kita tulis, lukisan, dan foto, semuanya memancarkan frekuensi tersendiri,” demikian Emoto. Manusia juga memiliki frekuensi. Seorang presiden atau kepala daerah kalau dia panik di layar kaca atau media massa, maka tentu akan mengalirkan gelombang kecemasannya kepada masyarakat sejauh gelombang itu dapat diterima oleh masyarakat.
Kunci kedua yaitu, resonansi. Bagi mereka yang biasa membaca harian Republika, tentu pernah membaca sebuah kolom bernama resonansi yang ditulis oleh para pakar dan mudah diterima oleh pembaca. Resonansi dimaknai sebagai adanya pengiriman informasi, dan informasi itu direspon oleh sang penerima. Sebagai contoh, kalau kita menelepon, tapi yang di sana tidak angkat-angkat, maka informasi yang mau kita sampaikan itu tidak akan sampai. Takkan ada pembicaran kalau si penerima tidak mau mengangkat telepon. Dalam ungkapan Jepang, resonansi bisa disebut sebagai, “aun no kokyu”, atau “napas masuk dan napas keluar.” Maksudnya adalah, sebuah keadaan dimana terjadi sinkronisasi atau keselarasan ketika kita melakukan sebuah hal secara bersama. Jika terdapat kecocokan getaran (diterima/ada tanggapan), maka terjadilah resonansi.
Kunci ketiga adalah, kemiripan. Ada filsuf yang menyebutkan bahwa dunia ini terdiri dari makro kosmos dan mikro kosmos. Makro kosmos itu adalah alam yang makro (besar/luas/semesta), sedangkan mikro kosmos adalah “alam kecil” yang ada dalam diri manusia. Apa yang ada di alam makro ini adalah simbol dari pengembangan alam mikro (diri kita). Apa yang terjadi di semesta, seperti kedamaian atau peperangan, itu juga terjadi dalam diri manusia. Jadi, diri kita itu adalah miniatur dari alam raya ini.
Dari ketiga kunci ini, kita melihat bahwa frekuensi, resonansi dan kemiripan ini adalah hukum alamiah, dan bisa jadi adalah hukum sosial juga. Kasus tawuran antara demonstran dan aparat keamanan, contohnya, itu biasanya disebabkan karena adanya frekuensi dan resonansi dari demonstran kepada aparat atau sebaliknya. Kalau demonstran mengucapkan kata-kata kotor yang menyulut kemarahan aparat, maka bentrok bisa saja terjadi. Begitu juga sebaliknya.
VIBRASI SOSIAL
Dunia ini bergerak. Tak ada yang statis. Termasuk dalam hal ini masyarakat. Dulu, kita tak ada motor, tapi ketika produsen luar menyebarkan pasar industrinya, akhirnya kita pun meresonansi pasar itu dengan membeli. Akhirnya, di masyarakat kita muncul motor satu persatu, mobil, dan seterusnya. Adanya kendaraan, itu karena kita menerima resonansi yang diberikan oleh sang produsen atau pemberi informasi.
Waktu Presiden AS George W. Bush panik karena peristiwa 9/11, ia pun dengan tak perhitungan menyebut bahwa perang yang akan dia lakukan kepada al-Qaeda adalah “perang salib” (crusade war). “This crusade, this war on terrorism, is going to take along time” (Perang Salib ini, perang melawan terorisme, akan memakan waktu yang lama), begitu kata Bush seperti yang dikutip BBC, 16/09/2001. Sontak, apa yang dikatakan oleh Bush itu mengalirkan frekuensi kepada seluruh masyarakat dunia. Bush dikutuk oleh penjuru barat dan timur. Itu karena ia salah berkata-kata. Walaupun belakangan, kata “perang salib”-nya itu diralat, ia tetap kena imbas dari perkataan negatifnya yang menyulut gelombang protes dimana-mana.
Dalam masalah resonansi, kita bisa melihat pemikiran Ibnu Khaldun. Khaldun adalah salah satu yang menarik untuk dieksplorasi. Filsuf sosial kelahiran Tunisia (1332), yang menulis kitab al-Muqaddimah (buku pengantar untuk kitabnya al-‘Ibar) itu, seperti kata Tarif Khalidi (1985), pernah menulis bahwa “manusia bukanlah produk nenek moyangnya, akan tetapi produk kebiasaan-kebiasaan sosial” (Maarif, 1996: 23). Ini berarti bahwa manusia itu ditentukan oleh interaksi antara satu dan lainnya, atau dalam konsepsi Masaru Emoto, yaitu adanya resonansi.
Dalam konteks kemiripan (kunci ketiga) di atas, dalam masyarakat juga ada kemiripan antara satu dan lainnya. Apa yang pernah terjadi di masa lampau, bisa saja terulang kembali. Dalam kultur kota seperti kita sekarang dimana manusia mulai lupa daratan, tidak hirau terhada nilai-nilai kemanusiaan yang tinggi, maka bisa jadi akan membawa manusia pada kehancuran. Berbagai peradaban silam sudah hancur, salah satu sebabnya karena masalah internal, yaitu keserakahan, korupsi, dan rendahnya moral para pengelola negara. Runtuhnya Khilafah Utsmaniyah di Turki, selain karena faktor eksternal, juga secara internalnya sudah bobrok yang terlihat dari bagaimana para penguasa tidak lagi berpatokan pada the sacred scripture atau kitab suci.
Dalam semua peradaban, termasuk kita, ketika mulai keluar dari hukum alamiah, maka perlahan kita pun digiring oleh sejarah ke dalam kubangan yang menghancurkan. Dewasa ini, dalam survey korupsi, negara kita disebut sebagai negara koruptor kelas atas. Ini suatu yang menyedihkan sebenarnya, karena ini adalah bagian dari (selain dosa pribadi), juga dosa sosial yang bisa membawa pada ekselerasi kejatuhan peradaban. Korupsi (kerakusan) adalah bagian dari tiga dosa sejarah yang menghancurkan itu, selain faktor keangkuhan dan kemewahan.
Tak terkecuali kita yang ada di kawasan Maluku Utara. Lihatlah bagaimana masyarakat kita merayakan pesta tahun baru. Bir merk captikus dijual dimana-mana. Beberapa botol ditenteng begitu saja dan sepertinya tak ada lagi kekhawatiran perihal dosa pribadi, begitu juga efek destruktif dari minuman keras itu. Maka, bisa jadi konflik horizontal yang pernah melanda kawasan ini beberapa tahun lalu, selain karena faktor eksternal (konstelasi politik internasional/geliat RMS di Belanda), itu sebentuk peringatan Tuhan kepada manusia yang telah mulai ingkar, dan lupa daratan.
Sebagai warga bangsa yang normal, kita tentu berharap agar vibrasi sosial kita tidak mengarah kepada kejatuhan. Cukup sudah bangsa-bangsa silam yang dileburkan karena faktor “dosa sejarah” mereka. Maka, demi menciptakan masyarakat yang damai dan kota yang madani, tentu saja segenap komponen masyarakat perlu bersama-sama. Saling memancarkan frekuensi positif, saling memotivasi antara satu dan lainnya, dan mengajak sesama untuk bertindak yang benar.
Selain itu, resonansi kebaikan, tetap perlu digalakkan oleh pemerintah dengan menghindari tindakan tiga dosa sosial di atas, yaitu keangkuhan, kemewahan, dan kerakusan. Pesan-pesan dan keteladanan moral dari para penguasa perlu sekali dijaga karena masyarakat cenderung meneladani tindakan orang yang berpengaruh. Ini tentu saja agar kehancuran peradaban tak melanda negeri kita. ***
* Dosen Antropologi Sosial Universitas Khairun Ternate
http://yanuardisyukur.com/artikel/read/filosofi_vibrasi_sosial/
Dalam The True Power of Water, Emoto menamakan energi lembut itu dengan kata “Hado.” Penulis buku bestseller versi harian New York Times itu, menulis bahwa, “hado adalah energi lembut yang ada di dalam semua hal.” Artinya bahwa semua yang ada di alam ini, bahkan pada hal-hal yang terlihat statis seperti batu, memancarkan vibrasi, energi, atau hado.
Vibrasi atau getaran inilah yang turut menentukan bagaimana gerak umat manusia. Perang yang terjadi di dunia hingga kini, tak lepas dari vibrasi. Mudahnya, vibrasi ini dipahami sebagai sesuatu yang kelihatannya sepele, tapi itu menentukan. Dalam bukunya The True Power of Water dan juga The Secret Life of Water, Emoto memperlihatkan foto-foto kristal yang dihasilkan oleh air ketika merespon vibrasi (getaran) kata-kata yang diucapkan oleh manusia. Ketika seorang berkata positif, seperti “kamu cantik”, “kamu baik”, “aku cinta kamu” kepada air, maka air itu akan merespon dengan membentuk kristal heksagonal (segi enam) yang bentuknya unik. Pun demikian, kalau kata-kata negatif yang diucapkan, seperti “aku benci kamu”, “kamu jelek”, maka air akan merespon dengan membentuk kristal yang tidak teratur.
Penelitian Masaru Emoto itu menarik sekali untuk dilihat dalam fenomena sosial. Perkelahian yang terjadi antar pemuda contohnya, kerap terjadi karena masalah sepele, seperti kata-kata kasar dan hinaan. Ketika seseorang dihina, maka dengan segera dirinya akan cenderung merespons vibrasi (getaran) itu dengan hal serupa pula, apalagi kalau tak ada iman di hatinya. Mari kita lihat kontekstualisasi konsepsi vibrasi (atau hado) ala pemikir Jepang itu dalam konteks sosial.
TIGA KUNCI
Untuk mengerti hado, Emoto memberikan tiga kuncinya, yaitu frekuensi, resonansi, dan kemiripan. Ketika kunci ini terkait sekali dengan kata-kata. Jika kita berkata negatif, maka itu bisa jadi semacam remote control untuk menyalakan getaran negatif di sekeliling. Coba saja, saat orang-orang tidak bersalah, kemudian Anda marah pada mereka. Apa yang terjadi? Pasti, mereka akan menerima energi negatif dari Anda. Begitu juga dengan kata-kata positif yang memberikan pengaruh positif pula.
Kata kunci pertama adalah, frekuensi. Biasa kalau dengar kata ini, kita teringat sebuah alat, yaitu radio. Radio itu memiliki frekuensi atau gelombang yang dapat memancarkan siaran sampai pada batas dimana gelombang itu berakhir. “Kata-kata yang kita tulis, lukisan, dan foto, semuanya memancarkan frekuensi tersendiri,” demikian Emoto. Manusia juga memiliki frekuensi. Seorang presiden atau kepala daerah kalau dia panik di layar kaca atau media massa, maka tentu akan mengalirkan gelombang kecemasannya kepada masyarakat sejauh gelombang itu dapat diterima oleh masyarakat.
Kunci kedua yaitu, resonansi. Bagi mereka yang biasa membaca harian Republika, tentu pernah membaca sebuah kolom bernama resonansi yang ditulis oleh para pakar dan mudah diterima oleh pembaca. Resonansi dimaknai sebagai adanya pengiriman informasi, dan informasi itu direspon oleh sang penerima. Sebagai contoh, kalau kita menelepon, tapi yang di sana tidak angkat-angkat, maka informasi yang mau kita sampaikan itu tidak akan sampai. Takkan ada pembicaran kalau si penerima tidak mau mengangkat telepon. Dalam ungkapan Jepang, resonansi bisa disebut sebagai, “aun no kokyu”, atau “napas masuk dan napas keluar.” Maksudnya adalah, sebuah keadaan dimana terjadi sinkronisasi atau keselarasan ketika kita melakukan sebuah hal secara bersama. Jika terdapat kecocokan getaran (diterima/ada tanggapan), maka terjadilah resonansi.
Kunci ketiga adalah, kemiripan. Ada filsuf yang menyebutkan bahwa dunia ini terdiri dari makro kosmos dan mikro kosmos. Makro kosmos itu adalah alam yang makro (besar/luas/semesta), sedangkan mikro kosmos adalah “alam kecil” yang ada dalam diri manusia. Apa yang ada di alam makro ini adalah simbol dari pengembangan alam mikro (diri kita). Apa yang terjadi di semesta, seperti kedamaian atau peperangan, itu juga terjadi dalam diri manusia. Jadi, diri kita itu adalah miniatur dari alam raya ini.
Dari ketiga kunci ini, kita melihat bahwa frekuensi, resonansi dan kemiripan ini adalah hukum alamiah, dan bisa jadi adalah hukum sosial juga. Kasus tawuran antara demonstran dan aparat keamanan, contohnya, itu biasanya disebabkan karena adanya frekuensi dan resonansi dari demonstran kepada aparat atau sebaliknya. Kalau demonstran mengucapkan kata-kata kotor yang menyulut kemarahan aparat, maka bentrok bisa saja terjadi. Begitu juga sebaliknya.
VIBRASI SOSIAL
Dunia ini bergerak. Tak ada yang statis. Termasuk dalam hal ini masyarakat. Dulu, kita tak ada motor, tapi ketika produsen luar menyebarkan pasar industrinya, akhirnya kita pun meresonansi pasar itu dengan membeli. Akhirnya, di masyarakat kita muncul motor satu persatu, mobil, dan seterusnya. Adanya kendaraan, itu karena kita menerima resonansi yang diberikan oleh sang produsen atau pemberi informasi.
Waktu Presiden AS George W. Bush panik karena peristiwa 9/11, ia pun dengan tak perhitungan menyebut bahwa perang yang akan dia lakukan kepada al-Qaeda adalah “perang salib” (crusade war). “This crusade, this war on terrorism, is going to take along time” (Perang Salib ini, perang melawan terorisme, akan memakan waktu yang lama), begitu kata Bush seperti yang dikutip BBC, 16/09/2001. Sontak, apa yang dikatakan oleh Bush itu mengalirkan frekuensi kepada seluruh masyarakat dunia. Bush dikutuk oleh penjuru barat dan timur. Itu karena ia salah berkata-kata. Walaupun belakangan, kata “perang salib”-nya itu diralat, ia tetap kena imbas dari perkataan negatifnya yang menyulut gelombang protes dimana-mana.
Dalam masalah resonansi, kita bisa melihat pemikiran Ibnu Khaldun. Khaldun adalah salah satu yang menarik untuk dieksplorasi. Filsuf sosial kelahiran Tunisia (1332), yang menulis kitab al-Muqaddimah (buku pengantar untuk kitabnya al-‘Ibar) itu, seperti kata Tarif Khalidi (1985), pernah menulis bahwa “manusia bukanlah produk nenek moyangnya, akan tetapi produk kebiasaan-kebiasaan sosial” (Maarif, 1996: 23). Ini berarti bahwa manusia itu ditentukan oleh interaksi antara satu dan lainnya, atau dalam konsepsi Masaru Emoto, yaitu adanya resonansi.
Dalam konteks kemiripan (kunci ketiga) di atas, dalam masyarakat juga ada kemiripan antara satu dan lainnya. Apa yang pernah terjadi di masa lampau, bisa saja terulang kembali. Dalam kultur kota seperti kita sekarang dimana manusia mulai lupa daratan, tidak hirau terhada nilai-nilai kemanusiaan yang tinggi, maka bisa jadi akan membawa manusia pada kehancuran. Berbagai peradaban silam sudah hancur, salah satu sebabnya karena masalah internal, yaitu keserakahan, korupsi, dan rendahnya moral para pengelola negara. Runtuhnya Khilafah Utsmaniyah di Turki, selain karena faktor eksternal, juga secara internalnya sudah bobrok yang terlihat dari bagaimana para penguasa tidak lagi berpatokan pada the sacred scripture atau kitab suci.
Dalam semua peradaban, termasuk kita, ketika mulai keluar dari hukum alamiah, maka perlahan kita pun digiring oleh sejarah ke dalam kubangan yang menghancurkan. Dewasa ini, dalam survey korupsi, negara kita disebut sebagai negara koruptor kelas atas. Ini suatu yang menyedihkan sebenarnya, karena ini adalah bagian dari (selain dosa pribadi), juga dosa sosial yang bisa membawa pada ekselerasi kejatuhan peradaban. Korupsi (kerakusan) adalah bagian dari tiga dosa sejarah yang menghancurkan itu, selain faktor keangkuhan dan kemewahan.
Tak terkecuali kita yang ada di kawasan Maluku Utara. Lihatlah bagaimana masyarakat kita merayakan pesta tahun baru. Bir merk captikus dijual dimana-mana. Beberapa botol ditenteng begitu saja dan sepertinya tak ada lagi kekhawatiran perihal dosa pribadi, begitu juga efek destruktif dari minuman keras itu. Maka, bisa jadi konflik horizontal yang pernah melanda kawasan ini beberapa tahun lalu, selain karena faktor eksternal (konstelasi politik internasional/geliat RMS di Belanda), itu sebentuk peringatan Tuhan kepada manusia yang telah mulai ingkar, dan lupa daratan.
Sebagai warga bangsa yang normal, kita tentu berharap agar vibrasi sosial kita tidak mengarah kepada kejatuhan. Cukup sudah bangsa-bangsa silam yang dileburkan karena faktor “dosa sejarah” mereka. Maka, demi menciptakan masyarakat yang damai dan kota yang madani, tentu saja segenap komponen masyarakat perlu bersama-sama. Saling memancarkan frekuensi positif, saling memotivasi antara satu dan lainnya, dan mengajak sesama untuk bertindak yang benar.
Selain itu, resonansi kebaikan, tetap perlu digalakkan oleh pemerintah dengan menghindari tindakan tiga dosa sosial di atas, yaitu keangkuhan, kemewahan, dan kerakusan. Pesan-pesan dan keteladanan moral dari para penguasa perlu sekali dijaga karena masyarakat cenderung meneladani tindakan orang yang berpengaruh. Ini tentu saja agar kehancuran peradaban tak melanda negeri kita. ***
* Dosen Antropologi Sosial Universitas Khairun Ternate
http://yanuardisyukur.com/artikel/read/filosofi_vibrasi_sosial/
Masaru Emoto
Reviewed by Edi Sugianto
on
06.09
Rating:
Tidak ada komentar: