Menembus Dimensi Ruang & Waktu seri 3 (LORONG WAKTU)
"Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia Yang Hidup kekal lagi terus menerus mengurus (makhluk-Nya); tidak mengantuk dan tidak tidur. Kepunyaan-Nya apa yang di langit dan di bumi. Tiada yang dapat memberi syafa'at di sisi Allah tanpa izin-Nya? Allah mengetahui apa-apa yang di hadapan mereka dan di belakang mereka, dan mereka tidak mengetahui apa-apa dari ilmu Allah melainkan apa yang dikehendaki-Nya. Kursi Allah meliputi langit dan bumi. Dan Allah tidak merasa berat memelihara keduanya, dan Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar."
( QS. Al Baqarah 2:255 )
LORONG WAKTU
Teori Wormhole (lubang cacing) merupakan teori jalan pintas melewati ruang dan waktu. Istilah Wormhole diperkenalkan oleh John Archibald Wheeler pada tahun 1957. Teori ini bermula dari teori relativitas Albert Einstein. Dimana, ruang dan waktu adalah entitas tunggal, dalam 4 dimensi, dan gravitasi yang cukup kuat akan melekukkan ruang-waktu.
Melalui suatu model lorong, struktur ruang-waktu yang tertekuk dapat menghubungkan dua tempat dari ruang-waktu yang sangat jauh. Hal ini mencari penjelasan dari partikel fundamental dalam ruang-waktu.
Teori Wormhole dapat terbagi dua, yaitu Intra-universe dan Inter-universe. Intra-universe, yaitu kita dapat masuk ke jalan pintas dan keluar pada tempat lain yang masih berada pada semesta kita, sedangkan Inter-universe, kita dapat masuk ke jalan pintas dan keluar pada tempat yang berada di semesta lain (sesuai teori many world interpretation/Dunia Multi Dimensi).
Tidak ada yang datar atau solid. Jika diperhatikan maka semua materi pasti memiliki lubang atau kerutan di dalamnya. Hal tersebut merupakan prinsip dasar dan bahkan bisa diterapkan pada waktu. Ada kebenaran tentang dimensi keempat, dalam waktu ada sisi kosong, kerutan, lubang maupun celah.
Dengan skala yang amat sangat kecil bahkan lebih kecil dari molekul dan atom, ada sebuah tempat yang disebut dengan buih kuantum, di dalam sanalah keberadaan wormhole. Terowongan kecil atau jalan pintas untuk melewati kanal dan bentuk ruang dan waktu. Dengan tiba-tiba bisa menghilang masuk ke dalam dunia kuantum dan karena terhubung dengan lokasi dan waktu lainnya, maka akan muncul di sana.
[pakar.blogsome.com] Star Trek adalah satu contoh dari sekian banyak Science Fiction Film (film fiksi pengetahuan-ilmiah). Film ini disutradarai oleh Gene Roddenberry, dan bercerita tentang pengembaraan manusia dengan sebuah pesawat super canggih yang secara tidak sengaja masuk ke dalam area kehidupan baru. Pesawat tersebut adalah USS Enterprise dengan beberapa awak di dalam siap mengemban misi kemanusiaan menemukan celah-celah kehidupan.
Suatu ketika, pesawat USS Enterprise terjebak dalam suatu gangguan atau fluktuasi ruang-waktu subspace yang membuatnya memasuki suatu wilayah nan eksotik dan nostalgis: masa lalu. Sedemikian menggetarkannya peristiwa itu, karena USS Enterprise bertemu dengan USS Enterprise generasi sebelumnya yang dalam buku sejarah disebutkan telah hancur lebur dalam suatu peperangan, namun saat itu dalam keadaan utuh. Belum lagi hal mengejutkan lainnya, yakni perjumpaan para awak dengan officer wanita muda, Letnan Tasha Yarr, yang telah mati, tetapi saat itu dalam keadaan sehat-sehat saja alias masih hidup. Luar biasa! USS Enterprise kembali ke masa lalu, bahkan berjumpa dengan orang-orang yang telah mati. Ia telah melakukan perjalanan menembus kematian!
Tentu timbul pertanyaan dalam benak kita, benarkah kita dapat melakukan perjalanan ke masa lalu dan bertemu dengan para nenek moyang kita yang sudah meninggal, mungkin untuk menanyakan kebenaran sejarah yang ditulis saat ini? Atau, apa yang terjadi sekiranya kita dapat kembali ke masa lalu, kemudian membunuh kakek-nenek kita (namun tentu jangan dilakukan) yang belum sempat melahirkan kedua orang tua kita? Adakah kita tetap dalam bentuk seperti sekarang ini? Bukankah tali silsilah telah kita potong? Bagaimana ini, sebab-akibat sedemikian kacaunya!
Biarlah Gene Roddenberry dengan Star Treknya. Toh siapa tahu hal itu dapat terbukti kelak di masa depan. Namun, baiklah kita melihat sisi ilmiah dari satu sampel pemikiran gila ini. Dan bagaimana bila pemikiran ini dikembangkan ke arah kemungkinan-kemungkinan yang lain. Mungkinkah itu terjadi?
EINSTEIN DAN TEORI RELATIVITAS
Dimensi yang selama ini kita kenal sebatas tiga track-sebut saja ruang berdimensi tiga. Namun Albert Einstein dengan pengembaraan otaknya menambahkan sebuah dimensi baru yakni dimensi waktu. Dengan demikian kini dimensi kehidupan fisis alam semesta ini tidak sebatas tiga, tetapi empat dimensi-tiga dimensi ruang dan satu dimensi waktu. Hakekat waktu merupakan satu bagian dari kajian rumit dalam teori relativitas Einstein. Dan untuk memahami sekelumit teori relativitas Einstein, ada baiknya kita menengok beberapa pertanyaan sederhana berikut ini:
- Apakah kita melihat dunia ini menurut hakekatnya ?
- Apakah langit itu betul-betul biru..?
- Benarkah ladang-ladang itu hijau..?
- Benarkah rasa madu itu manis..? dan pare itu pahit ..?
- Apakah air itu cair dan es itu padat ?
- Benarkah kayu itu benda padat seperti yang indera kita rasakan ?
- Benarkah kaca itu benda bening tembus cahaya, dan dinding itu tidak tembus cahaya ?
- Dapatkah kita meyakinkan bahwa sebuah benda bergerak sementara benda yang lain diam ?
Teori relativitas, semenjak dicetuskannya tahun 1905 sampai sekarang telah berkembang di atas menara gading yang tak dapat dicapai kecuali oleh sarjana-sarjana tertentu. Mendengar teori relativitas, orang biasa akan merasa ngeri seolah-olah mendengar cerita gaib yang penuh rahasia atau seperti momok, tak berani mendekatinya. Dr. Mousyirifa mengatakan bahwa di dunia ini tak ada manusia yang bisa memahami teoori ini kecuali 10 orang.
Sejarah telah melihat bahwa dengan teori relativitas manusia mampu menciptakan bom atom. Relativitas tidak lagi merupakan sekadar teori, tetapi telah diterapkan; dengan bahayanya yang mengancam wujud umat manusia dan masa depannya di permukaan bumi ini. Toeri relativitas telah keluar dari lingkaran hypotesis dan rumus-rumus matematika, berobah menjadi kenyataan yang menakutkan. Dengan demikian setiap individu perlu mengetahuinya.
Berbagai usaha telah dilakukan oleh para sarjana untuk menyederhanakan teori ini hingga mudah dimengerti. Eddington, James Jean, Edward Berhand, Russel, bahkan Einstein sendiripun telah berusaha untuk menyederhanakan bagian-bagian yang rumit dari teorinya. Dia berpendapat bahwa informasi yang kurang dan hanya dikuasasi oleh sejumlah kecil sarjana, walaupun dengan alasan spesialisasi dan pendalamanan, hanya akan membawa kepada terisolisirnya ilmu pengetahuan, akan melenyapkan roh filsafat rakyat banyak. Einstein membenci pendewaan ilmu dan ilmiah, penyelubungan ilmu dengan teori yang berbelit-belit, tabu ilmiah. Einstein selalu mengatakan bahwa hakekat itu adalah sederhana.
Usahanya terakhir yang diselesaikan tahun 1949 adalah mencari satu hukum terakhir dengan hukum mana dapat deijelaskan seluruh hubungan yang di jagad raya ini. Teori relativitas bukanlah semata-mata merupakan rumus-rumus tetapi juga mengandung segi filsafat. Tentang rumus-rumus matematika, Einstein mengatakan bagwa rumus-rumus itu muncul di otaknya sebagai akibat dari pengembaraan pemikiran dimana dia berusaha menggambarkan bentuk yang dari alam ini.
Baiklah kita berhenti sejenak pada point pengembaraan filsafat ini. Dan rumus-rumus matematika kita serahkan saja kepada yang ahli. Kita mulai dari awal, dari sebelum Einstein, dari soal-soal yang kita sebutkan di permulaan:
Apakah kita betul-betul melihat dunia ini menurut hakekatnya ?Kalau kita pelajari apa sebenarnya warna-warna itu kita tidak akan memjumpai apa dia, yang ada hanyalah perbedaan panjang gelombang, perbedaan frekuensi, tidak kurang tidak lebih. Tetapi mata kita tidak mampu melihat gelombang ini sebagi gelombang, tidak sanggup merasakan getaran-getaran sebagai gelombang. Yang terjadi adalah, sel-sel syaraf di selaput jala kita terpengaruh oleh macam-macam getaran ini dengan cara berbeda-beda menurut jenis getaran. Pusat syaraf mata di otak akan menerjemahkan berita dari syaraf ini dalam bentuk warna-warna. Tetapi gelombang cahaya itu bukanlah warna, semata-mata gelombang dan getaran, dan otak kita deengan bahasanya sendiri, untuk membedakan satu dari yang lain, memberikan definisi-definisi dalam bentuk tanggapan-tanggapan, itulah warna.
Tidak, kesemuanya itu bukanlah hakekat, semua itu adalah yang kita lihat, kita rasa tapi bukan hakekat. Cahaya putih kita lihat berwarna putih, kalau cahaya putih itu kita lewatkan pada prisma kaca, akan terurai menjadi tujuh warna, yaitu warna spektrum : merah, jingga, kuning, hijau, biru, nila, ungu (violet).
Ladang-ladang yang kita pandang berwarna hijau bukanlah hijau, yang terjadi adalah daun-daun tumbuhan menyerap semua gelombang cahaya kecuali panjang gelombang tertentu yang masuk ke mata kita, mempengaruhi sel-sel mata; pengaruh itu menurut bahasa otak berarti hijau. Demikian pula warna-warna yang lain, sebenarnya bukan warna. Tidak lebih dari pada berkas-berkas sinar yang dianalisa oleh otak, dengan bahasanya sendiri, otaklah yang menyatakan itu adalah warna.
Kekacaubalauan (chaos) ini akan lebih jelas lagi kalau kita lihat contoh yang kedua, yaitu madu. Madu bagi kita terasa manis, namun bagi sejenis cacing tertentu ia terasa lain. Jadi rasa manis bukanlah sifat mutlak yang melekat pada madu, tetapi hanya sifat nisbi, tergantung pada syaraf perasa yang terdapat pada lidah kita dan diterjemahkan menurut istilah khusus sebagai akibat dari pengaruh molekul madu pada lidah kita. Mungkin saja pengaruh pada alat perasa ini antara binatang satu dengan lainnya memberikan rasa yang berbeda-beda, madu dapat terasa pahit.
Kalau kita contoh ketiga dan kita bertanya betulkah air itu cair, dan es itu padat? Persoalannya akan lebih jelas lagi. Air, es dan uap air mempunyai unsur dan susunan kimia yang sama (perbandingan Hidrogen dan Oksigen = 2 : 1). Perbedaannya, bukanlah perbedaan hakekat, hanyalah perbedaan dalam cara. Jika air diletakkan di atas api, berarti kita memberinya panas, atau lebih tepat dikatakan kita memberinya energi. Gerak partikel-partikelnya akan lebih cepat, selanjutnya partikel-partikel itu akan terpisah jauh satu dengan yang lainnya.
Jadilah ia gas (uap air). Jika energi yang diambil dari api itu hilang, maka gerak partikel-partikel itu kembali menjadi pelan dan lemah; satu sama lain akan saling berdekatan sampai pada suatu batas, dimana indera kita mengatakan bahwa partikel-partikel itu sekarang berobah membentuk cairan. Kalau energi itu kita keluarkan lagi, kita dinginkan terus-menerus, maka gerak partikel makin pelan, partikel-partikel lebih berdekatan sampai kepada suatu batas di mana indera kita mengatakan bahwa ia sekarang berbentuk padat (es). Ketiga tingkat wujud zat, gas, cair, dan padat hanyalah berbeda dalam gejala bentuk, berbeda pada jauh dekatnya letak paertikel-partikel dari zat yang satu yaitu air.
Beningnya air dan baurnya salju tidak lain dari letak partikel-partikel air sedemikian rupa sehingga pandangan kita dapat melewati ruang-ruang antar partikel. Itu tidak berarti bahwa partikel-partikel es itu melekat satu sama lain; antar partikel itu tetap terdapat jarak, hanya lehih dekat. Demikian pula partikel atau molekul setiap zat, walaupun zat besi, tetap mempunyai ruang antar moekul, malah molekul-molekul terrdiri dari atom-atom dengan ruang antar atom. Setiap atom tersusun lagi dari proton-proton dan elektron-elektron yang satu dengan lainnya mempunyai jarak yang relatif jauh, seperti jauhnya matahari dari planet-planet tata surya. Benda-benda itu sebenranya kosong, terdiri dari ruang hampa yang di sana-sini bertebaran atom-atom. Sekiranya indera penglihatan kita sempurna, maka pandangan kita akan dapat menembus dinding, karena susunannya yang berlobang, seperti jaring-jaring ayak.
Kalau kita saling melihat dengan mempergunakan sinar-X, bukan dengan sinar biasa, kita akan melihat bahwa tubuh kita ini hanya terdiri dari kerangka, karena sinar-X dapat menembus ruang antar molekul daging, daging akan terlihat bening seperti kaca. Jadi penglihatn kita yang kurang sempurnalah yang menyebabkan pandangan tak bisa menembus dinding, padahal yang sebenarnya bukan dimikian. Dinding itu mempunyai ruang-ruang kosong, tetapi kemampuan organ kita terbatas dan sinar yang dipakai tidak dapat menembusnya, sinat itu malah memantul kembali dipermukaannya,, lalu kita menanggapi sebagai dinding yang membatasi penglihatan kita.
Seluruh tanggapan kita sifatya relatif dan nisbi, jadi bukan hakekat. Alam yang kita lihat bukanlah alam yang sebenarnya, semata-mata istilah yang kita berikan sendiri. Di situ kita hidup dan terkembang oleh rumus-rumus yang diciptakan oleh otak kita sendiri, menggiring kita kepada suatu yang kita tidak mengetahui hakekatnya.
MATERI TERCEPAT
Albert Einstein dalam teori relativitasnya menunjukkan bahwa tak ada objek di alam ini yang dapat mencapai kecepatan cahaya. Kecepatan gerak cahaya sebesar 3 x 108 m/second. Secara teoritik dapat diturunkan, bahwa jika suatu benda bergerak dengan kecepatan cahaya, maka benda tersebut haruslah bergerak di masa kini dan masa depan, tak akan pernah ia bergerak ke masa lalu.
Suatu benda akan kita ketahui keberadaanya dari suatu informasi yang datang daripadanya. Informasi tersebut biasanya dalam bentuk gelombang elektromagnetik yang bergerak dengan kecepatan cahaya. Informasi yang berasal dari benda yang bergerak dengan kecepatan yang lebih kecil dari kecepatan cahaya akan sampai ke kita lebih awal dari kedatangan benda. Namun informasi yang datang dari benda yang memiliki kecepatan lebih tinggi dari kecepatan cahaya akan datang belakangan, benda sampai lebih dahulu. Tetapi karena kita baru mengetahui keberadaan benda itu berdasar informasi yang datang darinya, maka benda itu tak pernah ada bagi kita.
Ilmuwan menamakan sebuah partikel yang mampu bergerak dengan kecepatan melebihi kecepatan cahaya sebagai tachyon..George Sudharsan punya pendapat kontroversial tentang hal ini. Sekalipun Einstein mengatakan bahwa tak ada objek materi yang dapat mencapai kecepatan cahaya, namun teori relativitas Einstein tidak mengatakan bahwa tak ada apapun yang mampu bergerak lebih cepat dari cahaya. Logika Einstein hanya begini; karena tak ada objek yang dapat mencapai kecepatan cahaya, maka tak ada objek apapun yang mempu melebihi kecepatan cahaya. Lalu apa yang terjadi jika sebuah objek telah bergerak dengan kecepatan yang melebihi kecepatan cahaya sejak objek itu tercipta? Bukankah ia tak pernah muncul dalam realitas - yang kita istilahkan sebagai ‘tak pernah ada’? Maka tachyon pun tak pernah mencapai kecepatan cahaya. Kecepatan cahaya tak pernah dicapai olehnya, karena terlalu pelan baginya.
Di lain pihak, tachyon memiliki massa imajiner. Artinya jika bilangan yang menunjukkan massa tachyon kita kuadratkan, maka hasilnya akan merupakan bilangan negatif-ini sungguh tal cocok dengan realitas. Yang lebih gila lagi, tachyon ini dapat melanggar arah waktu, sehingga dua pengamat bisa tidak sependapat terhadap dua kejadian tachyon yang terjadi lebih dulu. Ini yang disebut sebagai kekacauan sebab-akibat, mana sebab mana akibat.
Sudharsan mengajukan tiga alasan mengapa para fisikawan begitu bersemangat memburu partikel hipotetis ini. Pertama, tak ada alasan untuk percaya bahwa tachyon tak ada. Dia membandingkan alasan ini dengan Paul Dirac yang menghipotesiskan eksistensi partikel dengan energi negatif yang kemudian diketemukan oleh Carl Anderson sebagai positron. Kedua, tachyon tetap muncul dalam penghitungan matematis yang merupakan jantung fisika teori. Ketiga, tachyon dapat memberikan informasi yang dapat mebantu pengungkapan pelbagai misteri dalam fisika partikel, fisika antariksa, dan kosmologi, jika ia muncul. Sesungguhnya, pemunculan tachyon akan banyak menyingkap misteri tentang arah waktu, dan juga imajinasi dalam Star Trek di atas.
Aharon Davidson dari Universitas Ben-Gurion mendapati dalam perhitungannya bahwa semua partikel elementer yang kita kenal dalam alam semesta ‘tiga dimensi’ kita akan menjadi tachyon bila diamati dari sudut pandang ‘empat dimensi’. Davidson juga mendapati bahwa tachyon dimensi tinggi ini juga memberikan penalaran tentang sifat-sifat dimensi keempat yang biasanya hanya berupa asumsi. Dia juga mengatakan bahwa kita tidak mengetahui apa arti kausalitas (hukum sebab-akibat) di dunia ‘empat dimensi’ karena mungkin hal itu bukanlah problem penting seperti di dunia ‘tiga dimensi’ kita.
Namun dunia tachyon ini pulalah yang sering merepotkan para ahli yang menggeluti teori superstring yang saat ini begitu populer sebagai kemungkinan cikal-bakal suatu Theory of Everything. Tachyon dianggap sebagai pembunuh potensial bagi kebanyakan ahli superstring seperti halnya pembagian dengan bilangan nol dalam aljabar atau dalam proses komputasi. Namun ada pula sebagian ahli yang menyimak kemungkian bahwa tachyon merupakan sebuah konsekuensi penting dari teori string ketimbang sebagai suatu penyakit. Hal ini mungkin saja seperti Einstein yang tidak menyadari bahwa teori relativitas umumnya telah mengimplikasikan semesta yang mengembang -tidak statik- sehingga perlu memasukkan tetapan kosmologi agar persamaannya cocok bagi semesta yang statik (maklumlah saat itu orang tidak tahu bahwa alam semesta mengambang, hingga Hubble menginformasikan penemuannya). Einstein pun kemudian mengatakan bahwa pelibatan tetapan kosmologi yang hipotetis itu merupakan kesalahan terbesar dalam hidupnya.
Seluruh tanggapan kita sifanya adalah relatif, jadi bukan hakekat. Alam yang kita lihat bukanlah alam yang sebenarnya, semata-mata istilah yang kita berikansendiri. Di situ kita hidup dan terkembang oleh rumus-rumus yang diciptakan oleh otak kita sendiri, menggiring kita kepada suatu yang kita tidak mengetahui hakekatnya. Benarlah apa yang dilakukan oleh pelukis-pelukis abstrak, mereka berusaha untuk mengekspresikan apa yang mereka lihat. Menurut cara-cara mereka dengan instinknya mereka merasa bahwa apa yang dilihat oleh mata, bukanlah yang sebenarnya, jadi mereka tak merasa terikat, mereka dapat merasakan hakekat sesuatu, bukan dengan mata tetapi dengan akal. Mungkin dengan akal bathin, atau intuisinya, atau rohnya. Sarjana mempunyai cara yang berbeda dengan seniman. Ia memakai rumus-rumus dan hitungan-hitungan, dengan hipotesa dan teori, kemudian membuktikannya dengan percobaan-percobaan.
Sebagian besar dari rumus-rumus yang ditulis Einstein adalah abstrak, jauh dari kenyataan dalam bentuk angka-angka dan rumus-rumus matematika. Usaha sungguh-sungguh dari seorang sarjana yang ingin menghancurkan dan melenyapkan sintesa dan analisa tradisional, menggantinya dengan pandangan tentang hakekat yang tadinya tersembunyi di balik selubung kebiasaan dan tradisi.
Lalu bagaimana dengan terbolak-baliknya sebab-akibat dalam Star Trek di atas? Mungkinkah kita menembus ‘dinding kematian’? Tampaknya dalam dunia ‘tiga dimensi’ kita, hal itu tak mungkin dilakukan. Ada ‘dinding kecepatan cahaya’ yang selalu menghadang. Namun tidak tertutup kemungkinan pelanggaran kausalitas bila kita telah berada dalam dunia ‘empat dimensi’. Hanya sayangnya, hukum sebab-akibat mungkin tak penting lagi dalam dunia ‘empat dimensi’. Imaji tentu bebas mengembara ke wilayah yang ‘belum pernah dikunjungi’, meskipun tetap ada constraint yang tetap harus kita sadari. Tampaknya imajinasi kadang lebih penting dari sains, seperti yang pernah dikatakan Einstein. Paling tidak bagi Gene Roddenberry. Tetapi bagaimanapun kita harus tuduk pada satu hal yang telah pasti, bila kita tidak yakin akan mampu menembus kematian, yakinlah bahwa kematian akan menembus dan menjemput kita walau kita berada di ufuk alam semesta yang yang paling jauh sekalipun.
Demikian kitab suci mengisyaratkan. “Di mana saja kamu berada, kematian akan mendapatkan kamu, kendatipun kamu berada di ujung galaksi yang paling jauh…” QS.4:78.
Wallahu a’lam bish-shawabi
Menembus Dimensi Ruang & Waktu seri 3 (LORONG WAKTU)
Reviewed by Edi Sugianto
on
05.00
Rating:
Tidak ada komentar: