Prinsip Berguru : Kosong dan Isi
Metode NAQS adalah sebuah sistem yang terpadu utuk pengembangan diri manusia secara holistik yang meliputi pengembangan potensi Kesehatan Jasmani, Kesadaran Fikiran, Kecerdasan Hati Nurani, serta Kecerdasan spiritual. Sebagai sebuah sistem, maka metode ini tidak akan bisa tepat mengenai sasaran bila membernya tidak memahami sistem yang ada secara keseluruhan. Atau mengikuti dengan setengah hati, dan tidak sampai tuntas. Di bawah ini ada sebuah kisah menarik tentang prinsip berguru dan mencari ilmu.
Tersebutlah Bruce Lee, seorang legenda kungfu, saat dia pertama kali menemui gurunya untuk belajar ilmu.
Saat dia bertemu dengan gurunya itu dan mulai bertanya dengan semangat 45 tentang ilmu Kungfu, Sang Guru menjawabnya hanya dengan berkali-kali menuangkan air dari sebuah teko kecil yang berisikan teh ke dalam sebuah cangkir kecil yang sudah penuh berisi air teh pula. Berkali-kali Bruce Lee menanyakan ilmu yang ingin dia dapatkan, jawaban Sang Guru juga berkali-kali hanyalah dalam bentuk gerak menuangkan kembali air teh ke dalam cangkir yang sudah penuh itu, sehingga air teh itupun tumpah ruah meluber kemana-mana, membasahi meja kecil di depan mereka berdua. Begitulah, setiap kali ditanya oleh sang calon murid, Bruce Lee, Sang Guru tersebut kembali hanya menumpahkan air ke dalam cangkir yang sudah penuh itu. Lagi…, lagi…, dan lagi…, begitulah yang terjadi berulang kali.
Dipuncak kepenasarannya, sang murid bertanya dengan rasa dongkolnya yang pekat:
“Guru…, saya datang kesini untuk belajar ilmu, akan tetapi setiap pertanyaan yang saya ajukan, guru hanya menjawabnya dengan menuangkan air ke dalam cangkir yang sudah penuh itu sehingga air tersebut tumpah kemana-mana. Kenapa guru…?”.
Sang Guru tersenyum renyah memandang tepat ke mata sang Murid. Lalu dengan lembut dia berkata kepada murid kecilnya itu:
“Bagaimana saya akan mulai mengajarimu nak, sedang kamu datang kepadaku dengan kondisi dada dan otakmu yang sudah penuh dengan ilmumu yang memang sudah hebat. Setiap yang kuajarkan nanti, pastilah akan meloncat keluar lagi dari dalam dada dan otakmu itu, karena kau datang dengan sudah membawa segudang pola rasa dan pikiranmu sendiri nak…. Apapun yang akan kuajarkan nanti, maka kau akan membandingkannya dengan rasa dan isi otakmu yang sudah ada itu. Lalu buat apa aku mengajarimu sesuatu yang baru lagi kalau kau toh hanya akan kembali bertahan dengan isi otakmu yang sudah ada itu…?”.
Sang murid termangu mencerna wejangan gurunya itu. Dan dengan agak kemalu-maluan, sang murid menjawab:
“Benar guru…, saya tadinya datang kepada guru dengan NIAT untuk memantapkan ilmu-ilmu yang sudah ada di dada dan di otak saya selama ini. Saya hanya berfikir bahwa saya, yang selama ini sudah merasa hebat, hanya butuh sedikit sentuhan akhir saja dari guru untuk mematangkan ilmu-ilmu saya ini”.
Sang Guru dalam kelembutan tutur kata dan wajahnya yang teduh menimpalinya:
“Disitulah masalahnya nak…, apapun yang akan kuajarkan nanti pastilah akan kau tarik ke dalam persepsimu sendiri, sehingga kau tidak akan pernah bisa berkembang lebih dari apa yang kau punya sekarang ini. Ilmu-ilmu yang kusampaikan akan kau lepehkan kembali tanpa kau sadari. Karena otak dan dadamu memang sudah kau persiapkan untuk tidak bisa lagi diisi dengan ilmu-ilmu yang lain dari apa yang kau punya saat ini. Setiap jawabanku atas pertanyaan-pertanya anmu, nantinya kau juga akan menggiringku agar aku menjawabnya seirama dengan isi otakmu itu. Tepatnya, ilmu-ilmuku yang kuajarkan kepadamu dalam kondisi otak dan dadamu masih penuh seperti itu akan luber, melimpah-ruah, keluar dari dada dan otakmu seperti melimpahnya air teh dari cangkir yang sudah penuh itu tadi. Lalu apa lagi yang bisa kuajarkan kepadamu nak…?.
Dengan termangu-mangu sang murid pun berkata perlahan:
“Lalu apa yang harus saya lakukan Guru…?.
Sang Guru tidak langsung menjawabnya dengan kata-kata. Dia hanya menumpahkan isi cangkir yang sudah penuh itu tadi sampai habis kedalam sebuah pot tanaman yang ada di dekat mereka duduk, sehingga cangkir itupun kosong. Sang Guru lalu mengisi cangkir yang sudah kosong itu dengan perlahan sampai penuh. Begitu penuh, Sang Guru kemudian kembali menumpahkan isi cangkir itu ke dalam pot tanaman tadi untuk kemudian dia isi lagi dengan air teh dari teko bulat sebesar buah semangka di depannya. Penuh-kosong… , penuh-kosong… , penuh-kosong… !.
Begitulah Sang Guru selalu membuang air dari cangkir yang sudah diisinya itu sampai habis dan kemudian beliau mengisi cangkir itu kembali sampai penuh dari teko yang dipegangnya dengan tangan kanannya. Sampai suatu saat teko itupun kehabisan air. Air terakhir yang berada didalam cangkir kecil itupun kemudian ditumpahkan pula oleh Sang Guru, sehingga teko dan cangkirpun dua-duanya menjadi kosong.
“Sekarang…, apa yang kau pahami nak…?”, tanya Sang Guru.
“Lalu apa lagi yang kau pahami Nak…?”, tanya Sang Guru dengan mata berbinar.
Sebagai jawabannya, Sang Guru hanya menyeruput seteguk teh hijau di depannya sambil tersenyum.
“Kalau begitu Guru…, tolong ajari saya kembali sejak mulai dari posisi kuda-kuda, dan sikap-sikap dasar lainnya. Saya akan lupakan ilmu-ilmu saya yang lalu itu…, saya siap Guru. Sekarang juga…!”, pinta sang murid dengan penuh semangat.
Tak berapa lama kemudian, terjadilah proses kosong-isi-kosong- isi-kosong alias proses pertukaran ilmu yang sangat intents antara Sang Guru tersebut dengan muridnya. Lalu akhirnya duniapun mencatat di dalam lembaran sejarahnya, bahwa pernah hidup seorang jawara Kung Fu, Jet Kun Do yang sangat tersohor bernama Bruce Lee…
Jadi intinya kalau kita ingin terus belajar, dalam arti belajar apapun itu, baik dalam hal agama maupun pengetahuan lain. Janganlah pernah menyombongkan ilmu yang kita punya atau sudah merasa pintar atau sudah merasa paling benar duluan. Percuma saja, segala ilmu tersebut akan mental saja.
Padahal ilmu Allah itu sangatlah luas, walaupun seluruh air laut dibuat menjadi tinta, gak akan pernah bisa mencatat ke-Maha Luasan ilmu Allah.
Tersebutlah Bruce Lee, seorang legenda kungfu, saat dia pertama kali menemui gurunya untuk belajar ilmu.
Saat dia bertemu dengan gurunya itu dan mulai bertanya dengan semangat 45 tentang ilmu Kungfu, Sang Guru menjawabnya hanya dengan berkali-kali menuangkan air dari sebuah teko kecil yang berisikan teh ke dalam sebuah cangkir kecil yang sudah penuh berisi air teh pula. Berkali-kali Bruce Lee menanyakan ilmu yang ingin dia dapatkan, jawaban Sang Guru juga berkali-kali hanyalah dalam bentuk gerak menuangkan kembali air teh ke dalam cangkir yang sudah penuh itu, sehingga air teh itupun tumpah ruah meluber kemana-mana, membasahi meja kecil di depan mereka berdua. Begitulah, setiap kali ditanya oleh sang calon murid, Bruce Lee, Sang Guru tersebut kembali hanya menumpahkan air ke dalam cangkir yang sudah penuh itu. Lagi…, lagi…, dan lagi…, begitulah yang terjadi berulang kali.
Dipuncak kepenasarannya, sang murid bertanya dengan rasa dongkolnya yang pekat:
“Guru…, saya datang kesini untuk belajar ilmu, akan tetapi setiap pertanyaan yang saya ajukan, guru hanya menjawabnya dengan menuangkan air ke dalam cangkir yang sudah penuh itu sehingga air tersebut tumpah kemana-mana. Kenapa guru…?”.
Sang Guru tersenyum renyah memandang tepat ke mata sang Murid. Lalu dengan lembut dia berkata kepada murid kecilnya itu:
“Bagaimana saya akan mulai mengajarimu nak, sedang kamu datang kepadaku dengan kondisi dada dan otakmu yang sudah penuh dengan ilmumu yang memang sudah hebat. Setiap yang kuajarkan nanti, pastilah akan meloncat keluar lagi dari dalam dada dan otakmu itu, karena kau datang dengan sudah membawa segudang pola rasa dan pikiranmu sendiri nak…. Apapun yang akan kuajarkan nanti, maka kau akan membandingkannya dengan rasa dan isi otakmu yang sudah ada itu. Lalu buat apa aku mengajarimu sesuatu yang baru lagi kalau kau toh hanya akan kembali bertahan dengan isi otakmu yang sudah ada itu…?”.
Sang murid termangu mencerna wejangan gurunya itu. Dan dengan agak kemalu-maluan, sang murid menjawab:
“Benar guru…, saya tadinya datang kepada guru dengan NIAT untuk memantapkan ilmu-ilmu yang sudah ada di dada dan di otak saya selama ini. Saya hanya berfikir bahwa saya, yang selama ini sudah merasa hebat, hanya butuh sedikit sentuhan akhir saja dari guru untuk mematangkan ilmu-ilmu saya ini”.
Sang Guru dalam kelembutan tutur kata dan wajahnya yang teduh menimpalinya:
“Disitulah masalahnya nak…, apapun yang akan kuajarkan nanti pastilah akan kau tarik ke dalam persepsimu sendiri, sehingga kau tidak akan pernah bisa berkembang lebih dari apa yang kau punya sekarang ini. Ilmu-ilmu yang kusampaikan akan kau lepehkan kembali tanpa kau sadari. Karena otak dan dadamu memang sudah kau persiapkan untuk tidak bisa lagi diisi dengan ilmu-ilmu yang lain dari apa yang kau punya saat ini. Setiap jawabanku atas pertanyaan-pertanya
Dengan termangu-mangu sang murid pun berkata perlahan:
“Lalu apa yang harus saya lakukan Guru…?.
Sang Guru tidak langsung menjawabnya dengan kata-kata. Dia hanya menumpahkan isi cangkir yang sudah penuh itu tadi sampai habis kedalam sebuah pot tanaman yang ada di dekat mereka duduk, sehingga cangkir itupun kosong. Sang Guru lalu mengisi cangkir yang sudah kosong itu dengan perlahan sampai penuh. Begitu penuh, Sang Guru kemudian kembali menumpahkan isi cangkir itu ke dalam pot tanaman tadi untuk kemudian dia isi lagi dengan air teh dari teko bulat sebesar buah semangka di depannya. Penuh-kosong…
Begitulah Sang Guru selalu membuang air dari cangkir yang sudah diisinya itu sampai habis dan kemudian beliau mengisi cangkir itu kembali sampai penuh dari teko yang dipegangnya dengan tangan kanannya. Sampai suatu saat teko itupun kehabisan air. Air terakhir yang berada didalam cangkir kecil itupun kemudian ditumpahkan pula oleh Sang Guru, sehingga teko dan cangkirpun dua-duanya menjadi kosong.
“Sekarang…, apa yang kau pahami nak…?”, tanya Sang Guru.
“Aaa…, saya sekarang jadi paham Guru…, saat saya datang kepada Guru dalam keadaan dada dan otak saya penuh dengan ilmu yang ada pada saya selama ini, maka ilmu yang akan Guru sampaikan kepada saya akan sama halnya dengan air teh yang luber saat Guru mengisi cangkir kecil yang penuh dengan air teh itu tadi. Diisi bagaimana pun juga air itu akan meluber tak ada gunanya. Akan tetapi, saat saya mau mengosongkan dada dan otak saya dari ilmu masa lalu, persepsi masa lalu, rasa masa lalu, maka saat itulah sebenarnya saya menjadi sebuah wadah yang siap untuk Guru isi dengan ilmu apapun yang Guru punyai”, jawab sang murid dengan penuh semangat.
“Lalu apa lagi yang kau pahami Nak…?”, tanya Sang Guru dengan mata berbinar.
“Guru, begitu saya siap untuk Guru tuangi dengan ilmu dari Guru, maka sebenarnya Gurupun saat itu sedang dalam proses mengosongkan otak dan dada Guru pula dari kepemilikan dan keterikatan Guru dengan ilmu yang Guru punyai saat ini. Dan…, saat itu juga Guru sebenarnya sedang dalam proses siap pula untuk menerima ilmu dari Sang Punya Ilmu, Sang Maha Guru…!. Ya…, ya…, saya sekarang paham Guru”, kata sang murid pula dengan nada gembira…
Sebagai jawabannya, Sang Guru hanya menyeruput seteguk teh hijau di depannya sambil tersenyum.
“Kalau begitu Guru…, tolong ajari saya kembali sejak mulai dari posisi kuda-kuda, dan sikap-sikap dasar lainnya. Saya akan lupakan ilmu-ilmu saya yang lalu itu…, saya siap Guru. Sekarang juga…!”, pinta sang murid dengan penuh semangat.
Tak berapa lama kemudian, terjadilah proses kosong-isi-kosong-
Jadi intinya kalau kita ingin terus belajar, dalam arti belajar apapun itu, baik dalam hal agama maupun pengetahuan lain. Janganlah pernah menyombongkan ilmu yang kita punya atau sudah merasa pintar atau sudah merasa paling benar duluan. Percuma saja, segala ilmu tersebut akan mental saja.
Padahal ilmu Allah itu sangatlah luas, walaupun seluruh air laut dibuat menjadi tinta, gak akan pernah bisa mencatat ke-Maha Luasan ilmu Allah.
Prinsip Berguru : Kosong dan Isi
Reviewed by Edi Sugianto
on
23.20
Rating:
Tidak ada komentar: