Evolusi dan Insan Kamil
“Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rejeki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan.” [Q.S. al-Israa' 17:70]
Sebagai makhluk yang sempurna berarti manusia dikatakan sebagai makhluk yang paling berevolusi di muka bumi ini. Organisme yang paling mampu mengendalikan lingkungan dan organisme yang lain, serta paling mampu menjamin kelangsungan hidupnya dan paling mampu melakukan pelestarian dirinya. Pemahaman kita sekarang tentang evolusi merupakan hasil dari kenyataan bahwa kita telah berevolusi hingga sekarang dengan cara mengeksplorasi realitas fisik melalui panca indera. Melalui panca indera kita mengetahui bahwa setiap tindakan merupakan sebab yang berakibat.
Ketika lingkungan fisik dilihat hanya dari sudut pandang panca indera, kelangsungan hidup fisik tampak menjadi kriteria evolusi yang mendasar, karena tidak ada jenis evolusi lain yang dapat dikenali. Ketika persepsi dunia fisik terbatas pada persepsi panca indera, dasar kehidupan dalam arena fisik adalah rasa takut.
Kekuatan untuk mengendalikan lingkungan, dan semua yang berada pada lingkungan itu tampak menjadi esensial.
Kebutuhan pada kekuatan fisik menghasilkan suatu jenis kompetisi yang mempengaruhi setiap aspek kehidupan kita. Kebutuhan itu mempengaruhi hubungan antar teman, antar kekasih, antar negara, antar ras, antar jenis kelamin. Kekuatan eksternal ini dapat diperoleh dan dapat pula menghilang.
Persepsi tentang kekuatan sebagai sesuatu yang bersifat eksternal telah membentuk struktur kehidupan dan ekonomi kita. Uang merupakan simbol kekuatan eksternal. Orang yang memiliki uang terbanyak memiliki kemampuan terbesar untuk mengendalikan lingkungan beserta isinya. Pendidikan, status sosial, ketenaran dan barang-barang yang dapat dimiliki lainnya, jika dipandang dari pengertian peningkatan keamanan, merupakan simbol-simbol kekuatan eksternal. Rasa takut merupakan akibat dari cara memandang kekuatan sebagai sesuatu yang bersifat eksternal.
Perebutan untuk memperoleh kekuatan eksternal merupakan inti semua kekerasan. Inti sekunder dibalik konflik ideologis, seperti kapitalisme melawan komunisme, konflik keagamaan dan geografis, serta konflik keluarga dan perkawinan, tak lain adalah kekuatan eksternal.
Dari dinamika ini, kita menemukan pemahaman kita sekarang tentang evolusi sebagai proses peningkatan kemampuan secara terus-menerus untuk menguasai lingkungan dan pihak lain. Definisi ini mencerminkan keterbatasan pemahaman dunia fisik hanya dengan menggunakan panca indera. Definisi itu mencerminkan perebutan kekuatan eksternal yang diakibatkan oleh rasa takut.
Fenomena munculnya aliran-aliran yang dianggap “sesat” belakangan ini mungkin merupakan pencarian manusia akan makna yang lebih mendalam atau mungkin juga hanya usaha-usaha alternatif manusia atau sekelompok manusia untuk memperoleh kekuatan eksternal. Manusia yang menyatakan aliran lain yang memiliki kepercayaan yang berseberangan dengannya merupakan aliran sesat, juga tidak kalah sesatnya. Mereka semua tersesat dalam perebutan kekuatan eksternal. Jika kita masih menganggap diri kita lebih eksklusif, lebih suci, lebih berpengetahuan daripada orang lain maka kitapun masih tersesat.
Setelah melewati berbagai kebrutalan, baik antar individu maupun antara satu kelompok dengan kelompok lainnya, sekarang menjadi jelas bahwa rasa tidak aman yang mendasari persepsi kekuatan sebagai sesuatu yang bersifat eksternal tidak dapat disembuhkan dengan cara mengumpulkan kekuatan eksternal. Kita harus memperluas dan memperdalam pemahaman kita yang akan menuntun kita pada suatu jenis kekuatan lain, yaitu kekuatan cinta kasih, kekuatan yang tidak menghakimi apapun yang dihadapinya, kekuatan yang menghargai kebermaknaan dan tujuan dari segala rincian hal-hal terkecil yang ada di bumi.
Kekuatan cinta kasih berakar pada sumber terdalam dari keberadaan kita. Seseorang yang digerakkan oleh kekuatan ini tidak mampu menjadikan siapapun atau apapun sebagai korban, dan orang ini sedemikian kuat, sedemikian berkuasa, sehingga tidak pernah terlintas dalam kesadarannya untuk menggunakan kekerasan pada orang lain.
Bunda Theresa pernah berkata : “Kita tidak dapat melakukan hal-hal yang besar, yang dapat kita lakukan adalah melakukan hal-hal kecil dengan cinta yang besar”. Kehidupan umat manusia telah dibentuk secara mengagumkan oleh kekuasaan dan cinta dari Dia yang bersedia “menyerahkan hidupnya” untuk orang lain. Karena itu Dia merupakan salah satu diantara spesies manusia yang paling berevolusi.
Transformasi, membawa pemahaman kita tentang evolusi dari evolusi fisik menjadi evolusi spiritual. Dengan bercermin pada pemahaman tentang evolusi yang baru dan lebih luas, pemahaman yang dapat memvalidasi kebenaran terdalam kita, kita dapat melihat arah dan arti evolusi itu dalam pengertian apa yang kita alami, apa yang kita hargai, dan bagaimana kita bertindak.
Kesadaran atau pencerahan adalah sebuah rahmat. Kita tidak dapat mengundang pencerahan itu. Bagaikan sedang kegerahan di dalam kamar, kita harus membuka jendela kamar kita agar angin sepoi-sepoi dapat masuk dan menyegarkan kita, tetapi kita tidak dapat mengundang angin itu untuk datang. Usaha yang dapat kita lakukan sekedar membuka jendela dan membiarkan angin itu masuk. Rahmat Ilahi bagaikan angin yang melimpah di alam semesta ini. Melaksanakan latihan spiritual, ibadah, ubudiyah dan kegiatan lain yang dianjurkan oleh-Nya adalah salah satu upaya untuk membuka jendela hati kita agar rahmat Allah dapat masuk.
Evolusi Spiritual Adalah Potensi Manusia yang menjadikan manusia lebih mulia dari makhluk yang lain. Pohon dan tumbuhan, misalnya, adalah hampir tidak giat. Mereka termasuk kategori ‘kesadaran tertutup’. Namun, ketika kita mengamati mereka secara seksama, kita akan melihat bahwa mereka memiliki kesadaran yang terbatas. Jagadish Chandra Bose memberitakan bahwa tumbuh-tumbuhan memiliki kesadaran.44 Entitas hidup yang lain, seperti cacing atau ulat, serangga, dan binatang-binatang yang lain berada dalam “kesadaran mengkerut.’ Mereka tidak tertutup seperti tumbuh-tumbuhan, akan tetapi juga kesadaran mereka tidak berkembang sepenuhnya.
Manusia memiliki ‘bibit kesadaran Ilahiah yang masih kuncup’. Sebuah pucuk kuncup nampaknya mengkerut, namun ia berpotensi untuk menjadi sekuntum bunga mekar. Kesadaran manusia memiliki potensi yang serupa. Jadi, umat manusia memiliki kemampuan bawaan untuk mengembangkan kesadaran sampai batas hampir tak terhingga, hingga titik mengetahui Kebenaran Mutlak. Spesies yang lain tidak memiliki kemampuan khusus ini. Itulah sebabnya Allah mempermaklumkan bahwa bentuk kehidupan manusia adalah yang paling tinggi, Insan Kamil khususnya dimaksudkan bagi bentuk kehidupan manusia.
Kesadaran terus mengalami perkembangan dengan cara seperti ini karena tujuan kehidupan adalah untuk mencapai keadaan kesadaran Ilahiah. Jadi kehidupan adalah berbeda dengan badan-badan material yang ditempatinya. Dalam bentuk kehidupan manusia, ketika seseorang dengan tulus mulai bertanya tentang Allah, Kebenaran Mutlak, maka kesadaran spiritualnya yang seperti pucuk kuncup mulai mengalami perkembangan. Itulah keadaan kesadaran yang ‘mulai mekar.’ Ketika dia mempraktekkan disiplin-spiritual yang teratur sebagai hasil dari pertanyaannya, dia akan berkembang terus dan terus. Akhirnya, dia akan mencapai realisasi trancendental (keinsyafan rohani), kesadaran Tuhan yang sempurna, keadaan kesadaran yang ‘mekar sepenuhnya’.
Pengetahuan ilmiah untuk mencari Kebenaran Mutlak akan menjadi sebuah perjalanan spiritual. Albert Einstein pernah menyatakan, “Hal yang penting adalah bukanlah untuk berhenti bertanya. Keingin-tahuan memiliki alasan tersendiri atas keberadaanya. Orang tak dapat berbuat apa-apa kecuali kagum dan terpesona ketika kita merenungkan misteri kekekalan, kehidupan, struktur realitas yang mengagumkan. Cukup jika seseorang semata-mata berusaha untuk memahami sedikit saja dari misteri-misteri ini setiap hari.”
Evolusi dan Insan Kamil
Reviewed by Edi Sugianto
on
22.05
Rating:
Tidak ada komentar: